Minta Maaf Itu Berat, Lae…

Sebarkan:

Penulis Choking Susilo Sakeh. (foto/dok)
PEKAN lalu, terjadi ‘kehebohan’ sejenak. Berawal dari rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Kejaksaan Agung (Senin, 17/1/202). Ketika itu, anggota Komisi III DPR RI dari  Fraksi PDIP-P, Arteria Dahlan, meminta Jaksa Agung untuk memecat Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat. Alasannya,  sang kajati mempergunakan bahasa Sunda di dalam rapat.

Tak pelak, omongan Arteria Dahlan itu jadi bulan-bulanan protes banyak kalangan masyarakat etnis Sunda. Dari mulai Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, serta berbagai elemen masyarakat lainnya. Termasuk beberapa anggota DPR RI asal Jawa Barat, diantaranya Dedi Mulyadi, bahkan juga sesama anggota Fraksi PDI-P DPR RI, Tb. Hasanuddin. Mereka memprotes ucapan Arteria Dahlan tersebut sebagai berlebihan, sekaligus menyarankan yang bersangkutan untuk meminta maaf.

Awalnya Arteria Dahlan ngotot merasa tidak bersalah, bahkan mempersilahkan fihak-fihak yang keberatan untuk melaporkannya. Sikap Arteria ini semakin memunculkan gelombang protes yang besar. Tak tanggung-tanggung, di dunia maya beredar tagar #sundatanpapdip.

Namun setelah menghadap pimpinan DPP PDIP-P, akhirnya Arteria Dahlan melunak dan meminta maaf kepada seluruh warga Sunda. Arteria Dahlan juga siap menerima sanksi apapun yang akan diberikan partainya. Meski demikian, protes masyarakat Sunda masih terus berlanjut. 

Pada tulisan ini, aku tak mau bercerita tentang kehebohan Arteria Dahlan tersebut. Yang mau aku ceritakan, adalah prihal perilaku “meminta maaf” dari pejabat publik.

Berat, Lae…

Aku sangat percaya, semua agama pasti mengajarkan bahwa “meminta maaf” bukanlah perbuatan tercela. Meminta maaf atas segala kesalahan dan kesilafan yang kita lakukan, dipastikan tidak akan mengurangi harta kekayaan kita,  tidak akan menggerogoti kursi kekuasaan, tidak akan mengurangi kewibawaan dan kehormatan kita  --  siapapun dan apapun jabatan kita. 

Akupun sangat percaya, bahwa meminta maaf adalah sebuah perbuatan mulia yang akan meningkatkan kewibawaan dan kehormatan kita. Sebab, meminta maaf itu lahir dari sikap rendah hati dan jiwa yang besar. Seseorang yang rendah hati dan berjiwa besar, pasti akan dihormati orang lain meski sosok itu bukanlah pejabat.

Pemahamanku terhadap agama yang aku anut (Islam), mengajarkan bahwa meminta maaf adalah indikasi seseorang mengaku bersalah namun bertanggungjawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Sebaliknya, orang yang tidak mengakui kesalahannya, adalah orang yang sombong sekaligus pengecut. Mengakui kesalahan, merupakan bukti adanya kesadaran bahwa kita adalah manusia. Dan manusia, sesungguhnya adalah makhluk yang lemah  --  tempatnya salah dan silaf.

Banyak ayat-ayat suci Al Qur’an maupun Hadist Nabi Muhammad SAW yang menyarankan ummat Islam untuk meminta maaf dan istighfar. Semuanya itu mengajarkan, bahwa meminta maaf sesungguhnya adalah perbuatan yang mulia.

Maka, aku merasa kagum dan hormat dengan sikap Arteria Dahlan yang bersedia meminta maaf tersebut. Terlepas apakah permintaan maaf Arteria Dahlan kepada masyarakat Sunda itu murni lahir dari hatinya, ataukah karena tekanan dari luar, namun Arteria Dahlan telah memperlihatkan kemuliaannya. Apalagi jika mengingat usia Arteria Dahlan  yang relatih masih muda, masih berusia sekitar 46 tahun.

Dalam konteks yang sama, akal sehatku merasa aneh jika ada sosok pejabat publik yang berusia jauh lebih tua dari Arteria Dahlan dan telah berkali-kali membuat rakyatnya terhina, namun tak pernah sekalipun meminta maaf atas segala perilakunya tersebut. Menjadi semakin aneh, tatkala si pejabat publik yang sudah berkepala enam tersebut, mengaku baru mulai belajar meminta maaf beberapa hari lalu.

Akupun teringat dengan Coki Aritonang, pelatih biliyar Sumut yang dijewer Gubsu di depan umum, karena Coki tak ikut bertepuk tangan saat Gubsu berpidato. Merasa berusia lebih muda, Coki Aritonang telah memaafkan tindakan yang dialaminya tersebut. Namun, proses hukum atas pengaduannya ke Polda Sumut, tetap dilanjutkan sebagaimana mestinya.

Mungkin kita bisa belajar dan bertanya kepada Arteria Dahlan, seberat apakah meminta maaf itu. Rangkaian kata “minta maaf” yang sangat sederhana ini, akan menjadi sesuatu yang berat untuk dilakukan  jika syahwat pangkat, jabatan, kekuasaan dan kekayaan telah sangat menjajah akal sehat kita. Padahal, apapun pangkat dan jabatan kita, bahwa sesungguhnya kita cumalah manusia, makhluk Tuhan yang lemah.

Ya, bisa jadi, minta maaf itu berat, Lae. Biar kami azza…

------------------

*Penulis adalah Jurnalis, menetap di Medan.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com