![]() |
Penulis menikmati segelas teh racikan tangan Tika. (foto:dok penulis) |
SETIAP pagi pukul, di trotoar sempit Jalan Masjid Al Jihad, Kelurahan Babura, Kecamatan Medan Baru, seorang gadis muda tampak tengah bersiap membuka lapaknya.
Ia bukan pemilik kedai besar, bukan pula barista dengan seragam trendi. Ia hanya berdiri di bawah tenda kecil dengan galon besar berisi teh manis yang sudah ia racik sendiri sejak subuh.
Namanya Tika. Usianya baru 19 tahun. Tapi beban hidup yang ia tanggung, jauh lebih besar dari usianya. Sejak lulus SMA, Tika bekerja sebagai penjual es teh jumbo di pinggir masjid untuk membantu ekonomi keluarga. Sedangkan ayahnya bekerja serabutan sebagai buruh bangunan, sementara ibunya hanya ibu rumah tangga.
Tika, anak sulung dari tiga bersaudara, memutuskan untuk ikut menanggung beban keluarga. “Daripada saya nganggur di rumah, lebih baik bantu orang tua. Ini juga jadi jalan saya buat bantu adik-adik sekolah,” ujarnya ketika ditemui di lapaknya.
Gaji Tika per bulan berkisar di angka Rp1.800.000. Angka itu didapat dari menjual es teh manis seharga Rp5.000 per gelas. Jika sedang ramai, ia bisa menjual hingga 80 gelas per hari. Namun jika hujan turun atau kondisi sepi, ia hanya membawa pulang separuh dari itu. Meski demikian, Tika tidak pernah mengeluh.
Terik matahari Medan yang menyengat, derasnya hujan yang turun mendadak, hingga debu jalanan yang tak kenal waktu, menjadi teman harian Tika. Ia berdiri hamper sepuluh jam sehari, dari pukul delapan pagi hingga enam sore. Semua ia jalani demi mimpi sederhana: ingin melihat kedua orang tuanya bisa beristirahat, dan adik-adiknya tetap sekolah.
“Saya nggak muluk-muluk. Nggak pengin kaya. Cuma pengin bisa buka warung kecil nanti. Biar orang tua saya nggak capek-capek kerja,” katanya pelan.
Dibalik wajah polos dan senyum ramahnya, Tika menyimpan kekuatan besar yang mungkin tak terlihat oleh orang-orang yang sekadar membeli minumannya. Ia tidak pernah merasa malu meskipun bekerja di pinggir jalan. Justru ia bangga, karena tahu bahwa pekerjaan yang ia lakukan adalah halal dan bermartabat.
“Dulu sempat malu dilihat teman. Tapi sekarang saya pikir, saya kerja halal. Saya nggak nyusahin orang lain,” ujar Tika sambil tersenyum.
Tika adalah potret nyata dari generasi muda yang berjuang di jalanan, tanpa sorotan kamera dan tepuk tangan. Ia bukan selebgram, bukan pula mahasiswa dengan beasiswa luar negeri. Tapi ia adalah simbol keberanian dan keteguhan hati, yang barangkali jauh lebih menginspirasi dari mereka yang gemerlap di layar kaca.
Ia tidak menunggu belas kasihan. Tidak pula mencari simpati. Ia hanya ingin dihargai, seperti orang lain yang juga bekerja dengan keringat dan niat baik. “Kalau ada pembeli yang bilang, ‘enak tehnya’, saya senang sekali. Rasanya dihargai,” katanya dengan mata berbinar.
Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh ambisi, kisah Tika menyentuh sisi terdalam kita. Ia mengajarkan bahwa kerja keras tidak selalu datang dari balik meja kantor atau layar laptop.
Terkadang, kerja keras itu datang dari seseorang yang berdiri sendiri di tengah panas, menjajakan segelas es teh dengan sepenuh hati.
Jika suatu hari Anda melewati kawasan Masjid Al Jihad, coba tengok sisi jalan dekat pagar masjid. Di sana, Anda akan melihat seorang gadis muda dengan galon teh dan senyum penuh harapan.
Mungkin Anda sedang tidak haus, tapi yakinlah—dengan membeli segelas teh itu, Anda sedang membantu seseorang melanjutkan hidup dan mimpi-mimpinya.
Kisah Tika bukan sekadar cerita tentang es teh manis di pinggir jalan. Ini adalah kisah tentang keberanian, keikhlasan, dan mimpi yang tetap hidup di tengah keterbatasan.
Dan barangkali, dari segelas es teh sederhana itu, kita belajar bahwa harapan bias tumbuh di tempat yang paling tak terduga. (penulis: Ade Anggelina Fauzia, Fakultas Ilmu Sosial, Mahasiswi UINSU)