![]() |
Monumen DI Panjaitan di Silaen, Bukti Perjuangan Putra Batak untuk Indonesia. (foto/mm) |
MENGENANG jasa Pahlawan Revolusi DI Panjaitan bagi Indonesia, keturunannya mendirikan sebuah monumen di Desa Natolu Tali, Kecamatan Silaen, Kabupaten Toba. Monumen ini bertujuan agar masyarakat luas, khususnya marga Panjaitan dan suku Batak, mengetahui peran besar orang Batak dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Penjaga monumen Dasro Pardosi, menuturkan lokasi monumen sering dijadikan tempat upacara oleh TNI dan pemerintah daerah, terutama saat peringatan G30S/PKI dan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia.
Banyak yang belum memahami jasa besar yang telah diberikan DI Panjaitan. Padahal, dengan mengunjungi monumen ini, kita bisa belajar dan memahami bahwa berkat perjuangan beliau, kita bisa hidup seperti sekarang,” ujar Dasro, kemarin.
Perjuangan DI Panjaitan Melawan Belanda
Salah satu bentuk perjuangan DI Panjaitan terjadi pada akhir tahun 1948, ketika Belanda meningkatkan blokade logistik, terutama terhadap aktivitas militer Indonesia. Saat itu, DI Panjaitan menjabat sebagai Kepala Staf Umum IV/Suplai Komando Tentara dan Teritorium Sumatra (TTS), dan bertanggung jawab mengamankan pasokan logistik jika terjadi perang gerilya dalam menghadapi Agresi Militer Belanda.
Benar saja, pada tanggal 19 Desember 1948, pesawat-pesawat Belanda mulai membombardir Yogyakarta, Bukit Tinggi, dan Pekanbaru. Markas Komando TTS di Bukit Tinggi hancur lebur akibat serangan udara tersebut. Kolonel Hidayat kemudian memerintahkan seluruh anggota untuk keluar kota dan berkumpul di Mandiangin untuk memulai perang gerilya.
Perang gerilya membutuhkan peralatan dan perlengkapan dalam jumlah besar. Salah satu strategi yang diambil adalah menyelundupkan senjata dari luar negeri, terutama dari Singapura. Berdasarkan kesepakatan, jalur penyelundupan dilakukan melalui sungai karena jalur darat lebih mudah terdeteksi oleh Belanda. Sungai Rokan dan Selat Malaka menjadi rute strategis, sehingga dibuka jalur pasokan dari Rao ke Bagan Siapiapi melalui sungai Rokan.
Penyelundupan ini dipimpin oleh DI Panjaitan dengan anggota tim, yaitu Letnan Pieter Simorangkir, Letnan Sumihar Siagian, Sersan Walikota GG Simamora, dan Bustami — Wakil Nagari Rao yang bertugas sebagai penunjuk jalan.
Rombongan kecil ini memasuki hutan rimba Pengaraian pada 24 Desember 1948. Medan yang berat dan lebat membuat mereka harus singgah di beberapa desa. Setelah tiga hari perjalanan, mereka tiba di Pasir Pengaraian dan berkoordinasi dengan para pedagang lokal agar bersedia bekerja sama dalam penyelundupan.
Setelah pengamatan cermat untuk menjamin keamanan, misi yang dipimpin DI Panjaitan berhasil membentuk jalur penting penyelundupan senjata dan perlengkapan untuk mendukung perang gerilya.
Keberhasilan ini juga berkontribusi dalam merebut sejumlah wilayah di Sumatra. DI Panjaitan kemudian ditunjuk sebagai ketua P3 PDRI dan membangun basis logistik serta jalur distribusi utama. Basis utama ditempatkan di Pintu Padang, sedangkan pangkalan transit berada di Rokan.
Saat itu, terdapat tiga jalur penyelundupan dari Selat Malaka, yakni melalui sungai Rokan, Kampar, dan Siak. Namun, jalur sungai Rokan terendus oleh Belanda. Selebaran pun disebarkan, berisi hadiah iming-iming 10.000 Straits Dollar bagi siapa pun yang berhasil menangkap DI Panjaitan, hidup atau mati.
Mendengar kabar tersebut, DI Panjaitan bersama pasukannya segera mengosongkan pos di sungai Rokan dan memindahkannya ke Lubuk Bendahara. Tak hanya itu, beliau juga memutuskan memindahkan seluruh jalur suplai dan penyelundupan senjata dari Singapura ke jalur sungai Kampar untuk melanjutkan perjuangan melawan penjajahan Belanda.(uc)