![]() |
| BAP DPD RI bersama Kementerian ATR/BPN bahas konflik tanah 473 hektare antara warga Simpang Gambus, Batu Bara, dan PT Socfindo di Jakarta, Rabu (29/10/2025).(foto/ist) |
Hal itu tertuang dalam kesimpulan rapat yang dipimpin anggota BAP DPD RI Pdt Penrad Siagian STh MSi yang dihadiri sejumlah pejabat penting dari berbagai Direktorat Kementerian ATR/BPN, Rabu (29/10/2025) di Kantor Kementerian ATR/BPN Jakarta.
"Fokus utama pembahasan dalam pertemuan tersebut, terkait penyelesaian sengketa tanah yang diklaim warga sebagai tanah warisan leluhur yang telah mereka kelola sejak 1940-an dengan PT Socfindo," ujar Penrad.
Ditegaskannya, konflik agraria ini sudah berlarut sejak 1967 dan menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan kepastian hukum serta keadilan bagi rakyat, sebab masyarakat sudah berjuang hampir enam dekade agar tanah mereka diakui secara sah.
Ditegaskannya, konflik agraria ini sudah berlarut sejak 1967 dan menjadi tanggung jawab negara untuk memberikan kepastian hukum serta keadilan bagi rakyat, sebab masyarakat sudah berjuang hampir enam dekade agar tanah mereka diakui secara sah.
Ia juga menjelaskan, masyarakat telah menyerahkan berbagai dokumen pendukung, termasuk bukti pembayaran pajak pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, serta bukti adanya rumah dan makam leluhur di lokasi.
Sementara itu, Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Iljas Tedjo Prijono, mengakui adanya selisih data luas lahan antara hasil pengukuran resmi dan klaim masyarakat hingga mencapai 419 hektare.
Sementara itu, Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian ATR/BPN, Iljas Tedjo Prijono, mengakui adanya selisih data luas lahan antara hasil pengukuran resmi dan klaim masyarakat hingga mencapai 419 hektare.
Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan, Hendra Gunawan, menambahkan bahwa penyelesaian tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial dan psikologis masyarakat.
"Perlu pendalaman lebih lanjut agar keputusan nantinya benar-benar adil dan diterima semua pihak," ujarnya.
"Perlu pendalaman lebih lanjut agar keputusan nantinya benar-benar adil dan diterima semua pihak," ujarnya.
Kepala Subdirektorat Penetapan HGU Muhamad Rahman, menyampaikan bahwa berdasarkan peta teknis, tidak ada perbedaan garis batas antara peta lama dan baru. Kalau ada perbedaan luasan, kemungkinan besar terjadi human error, sehingga perlu kehati-hatian dalam memutuskannya.
Hal senada disampaikan Direktur Penanganan Sengketa Pertanahan lainnya, Eko Priyanggodo, yang menilai selisih ratusan hektare tidak masuk akal secara logika. "Kalaupun ada kesalahan ukur, toleransi maksimal hanya 10 persen, bukan sampai ratusan hektare," tegasnya.
Sebagai hasil akhir rapat, seluruh pihak menyepakati penundaan proses pembaharuan HGU PT Socfindo sampai konflik masyarakat terselesaikan. Langkah lanjutan yang akan ditempuh antara lain audit alas hak, klarifikasi teknis luas lahan, serta pendekatan sosial terhadap masyarakat terdampak.(mm/zein/sib)


