Muhaimin: NU Kembali ke Khittah Bukan Berarti Melepaskan Diri dari Politik

Sebarkan:

BANDAR LAMPUNG – Nahdlatul Ulama (NU) sedang menggelar hajatan besar Muktamar ke-34 di Lampung yang dibuka pada Rabu - Kamis (22-23/12/2021). Salah satu hal yang sering menjadi pembicaraan adalah persoalan NU kembali ke khittah 1926 dan keluar dari area politik praktis sesuai keputusan Muktamar NU ke-27 di Situbondo. 

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar mengatakan, sebetulnya NU tidak akan bisa lepas dari politik. ”Kalau disebut kembali ke khittah, itu bukan berarti melepaskan diri dari politik, tetapi justru menjadikan perangkat politik lebih luas,” ujar Gus Muhaimin saat memberikan sambutan pada Launching dan Bedah Buku ”Historiografi Khittah dan Politik Nahdlatul Ulama” di Kota Bandar Lampung, Rabu (22/12/2021).

Menurut Gus Muhaimin, sudah saatnya NU mempengaruhi kebijakan politik yang lebih transformatif untuk membawa kemajuan dan perubahan di masa yang akan datang. ”Kita harus membicarakan politik dalam artian yang lebih luas. Mulai dari mabadi’u khaira ummah, maqasidu syariah, sampai maslahatil ummah,” urainya. 

Menurutnya, istilah 'NU kembali ke khittah' justru menjadikan politik NU semakin canggih. Saat ini, para politisi NU sudah naik kelas. Jika di zaman Orde Baru dulu hanya bisa menduduki jabatan publik di legislatif, sejak era Reformasi, banyak kader NU yang menjabat di eksekutif maupun legislatif. 

"Karena demokrasi dan reformasi telah melahirkan kebebasan untuk menentukan arah politik yang kemudian warga NU terorganisir maupun pribadi menjadi kekuatan politik sehingga akhirnya jabatan-jabatan publik bisa diambil melalui pemilihan secara langsung,” tuturnya. 

Kendati begitu, Gus Muhaimin juga mengatakan bahwa ada konsekuensi dari pemilihan langsung yang tidak mudah, termasuk kecenderungan pragmatisme politik yang melahirkan-produk politik yang tidak efektif. 

Menurutnya, politik besar yang menjadi khittah adalah bahwa NU harus bisa membaca lebih luas lagi posisi perjuangan politik NU yang sudah tidak lagi pada level jabatan publik, tetapi susdah level kebijakan-kebijakan publik yang efektif dan tepat dalam memenuhi tuntutan-tuntutan mabadi’u khaira ummah, maqasidu syariah, sampai maslahatil ummah sesuai visi dan misi NU. 

"Dari situlah saya yakin peran politik NU sangat cerah. Masa depan NU sangat luas apabila semua kekuatan solid di dalam satu kekuatan yang kokoh. Kalau tidak, akan terulang lagi perceraiberaian seperti yang terjadi di masa Fusi di dalam sebuah parpol maupun di masa proses marginalisasi politik Orde Baru yang akhirnya tidak produktif sama sekali,” urainya.

Menurutnya, justru perjuangan NU itu akan sangat efektif dilakukan melalui jalur politik. Baik perjuangan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial bahkan keagamaan. 

Gus Muhaimin mencontohkan sejak era Mendikbud Muhammad Nuh dan dilanjutkan M Nasir sebagai Menristekdikti, perguruan tinggi NU berkembang sangat pesat, meskipun masih jauh dari target NU. 

”Inilah efektivitas kekuasaan dalam melahirkan target-target perjuangan. Justru khittah tadi yang membuat kita memiliki peran perjuangan di pemerintahan, kenegaraan, dan politik,” katanya.

Gus Muhaimin pun sangat mengapresiasi terbitnya buku Historiografi Khittah dan Politik Nahdlatul Ulama yang ditulis KH Ahmad Baso. 

”Sungguh saya terkagum-kagum dengan buku Historiografi Khittah dan Politik Nahdlatul Ulama. Ini dahsyat dalam waktu singkat bisa diberikan ke hadapan kita semua,” katanya.

Buku tersebut, menurut Gus Muhaimin, bisa menjadi panduan sekaligus pembelajaran untuk benar-benar membuat NU lebih produktif lagi ke depan. 

”Setidaknya ada dua agenda besar yang harus kita tangani yakni pendidikan dan ekonomiDi bidang ekonomi, kita perlu melahirkan pelaku-pelaku ekonomi baru yang produktif untuk mengisi kekosongan. Ini kosong total pelaku ekonomi NU yang sehat, mandiri dan kokoh. Yang hidup hanya pelaku buntut-buntut oligarki ekonomi,” katanya. (red/mm)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com