![]() |
Choking
Susilo Sakeh. |
Masyarakat Sumatera Utara mestinya kini sudah wajib mengenal Batu Jomba. Terutama setelah beberapa video pendek tentang aksi akrobatik berbagai jenis truk dan mobil pribadi di sebuah jalanan, sempat viral akhir-akhir ini di beberapa akun media sosial. Di tayangan video tersebut, terlihat banyak kendaraan terpaksa jungkir balik, setelah gagal melakukan aksi akrobatiknya.
Yak, Batu Jomba adalah nama sebuah kawasan yang terdapat di lintasan Jalan Lintas Tengah Sumatera, menghubungkan Kota Tarutung (Kab. Tapanuli Utara) dengan Kota Padangsidimpuan (Kab. Tapanuli Selatan) melalui Sipirok. Persisnya, terletak di Desa Luat Lombang, Kecamatan Sipirok. Jarak dari Batu Jomba ke Sipirok (Ibukota Kab. Tapanuli Selatan), lebih kurang 12 kilometer. Sedangkan jarak dari Batu Jomba ke Tarutung (ibukota Kab, Tapanuli Utara), sekitar 58 kilometer.
Jalur jalan yang melintasi Batu Jomba ini adalah jalur jalan terpendek dari Tarutung menuju Padangsidempuan. Ada jalur lainnya, tentunya lebih panjang, yakni dari Tarutung menuju Padangsidempuan melalui Sibolga. Atau jalur yang semakin lebih panjang lagi, yakni dari Tebingtinggi menuju Padangsidempuan melalui Rantauperapat. Status jalan ketiga jalur tersebut, adalah “Jalan Nasional”.
Lantas, kenapa Batu Jomba?
Dari berbagai video yang viral tentang Batu Jomba ini, diketahuilah bagaimana buruk dan seramnya kondisi jalan di tempat ini. Itulah yang membuat semua supir kendaraan yang melewati jalur Batu Jomba, harus punya nyali dahsyat untuk bermain akrobat sekaligus punya adrenalin yang cadas. Jika beruntung, kendaraan bisa selamat. Namun, jika lagi apes, ya, pasrahlah jika kenderaan harus terguling.
Kondisi jalan yang buruk di Batu Jomba, sesungguhnya sudah terjadi sejak belasan tahun lalu. Namun, kondisinya tidak separah seperti saat ini. Apalagi jika lagi musim hujan, dipastikan para supir akan berfikir dan berdo’a seribu kali untuk melewati “jalur neraka” ini.
Kondisi badan jalan Batu Jomba yang sedemikian itu, konon dikarenakan badan jalan persis berada di atas sesar Sumatera, yakni jalur lempengan gempa di Pulau Sumatera. Itulah yang membuat badan jalan di kawasan tersebut suka bergerak dan amblas setiap saat.
Batu Jomba dan Aek Latong
Belasan tahun lalu, Batu Jomba kalah populer dibanding Aek Latong. Berada di jalur jalan yang sama, namun letaknya lebih dekat ke Sipirok, Aek Latong juga punya cerita yang sama dengan Batu Jomba : Jalur Neraka.
Pada priode pertama Syahrul Pasaribu menjadi Bupati Tapanuli Selatan (2010-2015), jalur jalan Aek Latong bisa dipindahkan (di-relokasi) tidak jauh dari jalur semula. Pemindahan jalur jalan tersebut, relatif membuat Aek Latong tidak lagi menjadi masalah krusial, karena badan jalan kini nyaris jarang amblas dibanding sebelum jalur jalan dipindahkan. Dampaknya, Aek Latong kini kalah populer dibanding Batu Jomba, karena Aek Latong tidak lagi menjadi jalur jalan yang menyeramkan.
Karena status jalur jalan Aek Latong merupakan jalan nasional, tentunya pemindahan jalur jalan ini dibiayai oleh Pusat. Menurut data Kemen PUPR, pembuatan jalan alternatif Aek Latong tersebut menghabiskan anggaran Rp 60 Miliar, yang dilaksanakan selama dua tahun anggaran yakni tahun 2011 dan 2012.
Aku tidak tau bagaimana persisnya Bupati Tapanuli Selatan saat itu, Syahrul Pasaribu, merayu Pusat untuk mau memindahkan jalur jalan Aek Latong tersebut. Namun, aku mesti memberi hormat kepada Syahrul Pasaribu, yang mampu menarik anggaran dari Pusat untuk kepentingan daerahnya. Mengingat jenjang kordinasi antara Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Pusat cukup lebar, maka keberhasilan Syahrul Pasaribu sungguh sebuah pencapaian luar biasa.
Jauh sebelumnya, di masa kepemimpinan Letjen (Purn) Raja Inal Siregar menjadi Gubernur Sumatera Utara (1988-1998), jalur jalan Tarutung-Padangsidempuan melalui Sipirok ini nyaris tak terdengar pernah bermasalah. Raja Inal ternyata jagoan didalam urusan menarik anggaran Pusat untuk setiap tahun memuluskan jalur jalan ini. Dengan konsep “Marsipature Hutanabe”, jalur Tarutung-Padangsidempuan melalui Batu Jomba dan Aek Latong, nyaman setiap saat sepanjang sepuluh tahun Raja Inal menjadi Gubernur Sumatera Utara.
Prihal Batu Jomba ini, banyak para fihak berkompeten berpendapat, bahwa salah satu cara mengatasinya adalah dengan memindahkan jalur jalan ke lokasi yang lain, sebagaimana dulu pernah dilakukan dengan jalur Aek Latong. Dan itu, tentunya, mesti dilakukan dengan pembiayaan dari Pusat.
Ahai, masa-masa indah Batu Jomba-Aek Latong di era Syahrul Pasaribu dan Raja Inal Siregar, akankah itu cuma masa lalu? Dan kini, akankah masa lalu yang indah di Batu Jomba-Aek Latong ini, cuma tinggal kenangan dan catatan belaka? Atau, pernahkah Gubsu Edy Rahmayadi berteriak minta anggaran Pusat untuk membenahi Batu Jomba?
Mangkanya… (bersambung)
---------------------------------
*Penulis adalah Jurnalis, warga Sumatera Utara.