![]() |
Choking Susilo Sakeh. |
TERNYATA, “menjadi pemenang pada Pemilihan Walikota” (Pilwalkot) di Indonesia, jauh berbeda dengan “menjadi walikota”. Bahkan pada beberapa aspek, bisa pula bertolak belakang. Seorang peserta pilwalkot berusia muda yang berwajah tampan, selalu tampil rapi necis, penggemar glowing dan lancar berbicara misalnya, bisa lebih berpeluang menjadi pemenang pilwalkot dibanding seorang tua yang kumal dan bicaranya gagap. Namun, saat menjadi walikota, kesemua yang dimiliki si anak muda itu bisa saja tidak dibutuhkan lagi.
Karenanya, “belajar menjadi walikota” bagi para pemenang pilwalkot, terasa menjadi sesuatu yang penting. Apalagi jika pemenang pilwalkot itu cuma bermodalkan usia muda berwajah tampan, penampilan rapi, suka glowing, namun juga seorang anak rumahan dengan tingkat pergaulan sosialnya relatif terbatas, serta pengalaman organisasinya yang juga minim.
Dan melalui tulisan ini, aku cuma sebatas ingin mengajak pemenang Pilwalkot untuk mau “Belajar Menjadi Walikota”.
*
Walikota adalah jabatan ‘politik’. Sebagai kepala pemerintahan kota, seorang walikota memenej ratusan atau ribuan ASN (Aparatur Sipil Negara) yang merupakan pejabat ‘karir’ maupun Non-ASN, untuk mengelola pemerintahan kota agar bisa berjalan sebaik mungkin demi kesejahteraan warga kota. Untuk tugas-tugas pada jabatan politik tersebut, seorang walikota digaji oleh para warganya.
Untuk menjadi walikota, seseorang tidak mesti mengikuti beragam kursus dan/atau pendidikan, sebagaimana disyaratkan kepada ASN yang akan menduduki jabatan/eselon tertentu maupun untuk bisa naik golongan kepegawaiannya. Menjadi walikota, cukup berpendidikan sesuai ketentuan (dan syukur-syukur bisa pakai ijazah palsu). Bahkan, anak rumahan dengan lingkup pergaulan sosialnya yang sangat terbatas serta minim pengalaman berorganisasi, pun bisa menjadi walikota.
Namun, agar seorang anak rumahan dengan pengalaman organisasi yang minim, misalnya, bisa menjadi walikota yang mampu memenej para ASN terdidik tersebut, maka si anak rumahan itu wajib mengelola kesadarannya tentang sejauhmana kemampuannya untuk berada pada posisi barunya tersebut.
Seorang anak rumahan yang ditakdirkan menjadi Walikota tersebut, pun harus punya kesadaran memahami pertanyaan seperti ini : “kenapa ‘ordal’ memilih aku untuk menjadi calon walikota, dan kenapa kemudian ‘ordal’ mesti cawe-cawe agar aku memenangkan pilwalkot ini?”. Juga kesadaran : “berapa perolehan suaraku pada Pilwalkot, dan berapa pula perolehan suaraku pada pileg 2024 yang kuikuti”.
Dalam konteks Pilwalkot Medan 2025, maka anak rumahan itu mestinya sudah cukup tau kenapa ‘ordal’ memilihnya, dan kenapa ‘ordal’ mesti cawe-cawe (dengan intervensi dan intimidasi) untuk memenangkannya menjadi Walkot Medan. Anak rumahan itu pun mestinya cukup tau, bahwa perolehan suaranya pada Pilwalkot Medan paling kecil dibanding perolehan suara para pemenang pada dua Pilwalkot Medan sebelumnya. Memang, perolehan suaranya pada Pilwalkot Medan tersebut, jauh lebih besar dibanding perolehan suaranya pada Pileg 2024, yang hanya memperoleh 8.938 suara sebagai caleg No. 1 Partai Nasdem untuk DPRD Sumut dari Dapil Sumut 3.
Dan kesadaran-kesadaran tersebut, sangat tergantung dengan sejauh mana tingkat kecerdasan -- emosional, intelektual dan spiritual -- yang dimiliki si anak rumahan tersebut. Jika kecerdasannya memang bagus, maka kesadarannya terhadap dirinya sendiri cukup bagus pula.
*
Selamat siang Walkot Medan, Bapak Rico Wa’as…
Pada 5 Mei 2025 lalu, Kapolres Belawan terpaksa melepaskan tembakan ketika sekerumunan orang bersenjata tajam yang melakukan tawuran, menghadang laju kenderaan Kapolres Belawan di tol Belmera. Seorang remaja tewas tertembak, dan seorang lainnya dirawat karena luka tembak.
Esoknya, Kapolda Sumut berkunjung ke rumah duka di Belawan. Namun sehari berikutnya, tawuran antarwarga kembali terjadi di Belawan. Dan pada peristiwa tawuran lanjutan ini, Kapolsek Belawan terluka terkena lemparan batu saat mencoba melerai tawuran tersebut.
Aku kemudian membayangkan, Walkot Medan selaku pimpinan tertinggi di Kota Medan, berkunjung ke lokasi tawuran menemui masyarakat, sekaligus mengeluarkan kebijakan komprehensif di dalam mengatasi masalah tawuran antarwarga yang terus berulang terjadi itu. Namun, hingga kini hal tersebut belum terlaksana. Mungkin Walkot Medan menunggu surat permohonan audiensi dari para pelaku tawuran.
Abaikanlah hal itu sejenak. Aku ingin pula bercerita tentang badan jalan Dwikora Kelurahan Tanjungrejo sudah diperlebar sekitar satu meter, sejak dari simpang Jalan Setiabudi hingga ke dalam sejauh kurang lebih satu kilometer. Pelebaran badan jalan ini Dwikora ini, tentunya sangat menggembirakan Emak-emak sekitarnya yang akan pergi belanja ke Pasar Setiabudi, atau Emak-emak yang akan membantu urusan anaknya di Balai Kota.
Mangkanya…
---------------------------------
*Penulis adalah Jurnalis Utama, warga Kota Medan.