Batu Bara Sibuk Seremonial, Rakyat Menanti Pembangunan Nyata

Sebarkan:
Penulis: Zainuddin Zein. (foto/ist)
DELAPAN bulan sudah sejak dilantiknya Bupati dan Wakil Bupati Batu Bara periode 2025–2030. Harapan masyarakat akan percepatan pembangunan masih menggantung di udara. Ironisnya, ruang publik justru lebih sering dipenuhi acara seremonial, mulai dari peresmian kecil-kecilan, pesta syukuran, hingga kegiatan serba pencitraan yang ramai di media sosial, namun minim dampak langsung bagi masyarakat.

Situasi ini memunculkan kegelisahan. Sebab, Batu Bara adalah kabupaten strategis di pantai timur Sumatera Utara, dengan potensi besar di bidang industri, pelabuhan, pertanian, dan perikanan. Sayangnya, potensi ini belum diolah secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Di tengah kebutuhan pembangunan yang mendesak, energi pemerintah daerah seolah habis untuk menjaga citra politik, bukan menata masa depan.

Padahal, publik tak butuh sekadar panggung pencitraan. Mereka ingin pelayanan publik yang cepat, infrastruktur yang memadai, serta kebijakan ekonomi yang membuka lapangan kerja. Batu Bara bukan hanya butuh wajah “seremonial”, tetapi arah pembangunan yang terukur, konsisten, dan berkelanjutan.

RTRW yang Terabaikan

Salah satu fondasi penting pembangunan daerah adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Batu Bara 2020–2040. Dokumen yang sudah disahkan DPRD ini seharusnya menjadi acuan strategis dalam menata ruang, mengatur penggunaan lahan, merencanakan infrastruktur, melindungi lingkungan, hingga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Namun, dalam praktiknya, RTRW kerap diperlakukan hanya sebagai formalitas administratif. Banyak pembangunan berjalan tanpa mengacu pada peta tata ruang. Salah satu contoh nyata adalah penempatan kantor-kantor Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang tersebar di berbagai kecamatan, padahal seharusnya terpusat di ibu kota Limapuluh. Akibatnya, masyarakat kesulitan mengakses layanan karena harus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain yang berjauhan.

Kondisi ini jelas bertentangan dengan semangat efisiensi birokrasi dan pelayanan satu pintu. Jika tata ruang diabaikan, pembangunan akan kacau, tumpang tindih, dan pada akhirnya merugikan rakyat.

Harapan yang Belum Tuntas

Perjalanan pembangunan pusat pemerintahan di Batu Bara sebenarnya sudah dimulai pada masa Bupati Zahir. Saat itu, Pemkab berhasil memperjuangkan pelepasan HGU PT Socfindo seluas 50 hektare untuk pembangunan pusat pemerintahan. Di atas lahan itu berdiri kantor bupati definitif—ikon baru yang menandai berakhirnya penantian panjang masyarakat Batu Bara yang selama belasan tahun tak punya kantor bupati permanen.

Namun, tongkat estafet kepemimpinan berikutnya tidak otomatis membawa percepatan. Pergantian ke Plt bupati membuat agenda pembangunan mandek. Banyak energi terkuras untuk persiapan politik elektoral ketimbang melanjutkan konsolidasi tata ruang.

Kini, di era Bupati Baharudin–Syafrizal, harapan kembali digantungkan. Dari total 50 hektare lahan strategis, baru sebagian kecil yang dimanfaatkan. Delapan hektare di belakang gedung DPRD direncanakan untuk pembangunan Sekolah Rakyat program Presiden Prabowo, sebagian lahan lagi dihibahkan untuk kantor Samsat dan Kejari. Namun, masih ada lebih dari 35 hektare lahan kosong yang belum jelas nasibnya.

Kekhawatiran Publik

Lambannya realisasi pembangunan memunculkan keresahan baru. Di lapangan, sudah muncul gejala penyalahgunaan: sebagian lahan dimanfaatkan oknum untuk kepentingan pribadi, bahkan ditanami ubi tanpa izin resmi maupun kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin lahan strategis ini akan berubah menjadi persil kepentingan pribadi atau kelompok, mengulang pola lama yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Inilah yang ditakutkan masyarakat: lahan eks HGU yang semestinya menjadi pusat pelayanan publik justru terjebak dalam praktik jual-beli kepentingan. Jika pemerintah dan DPRD tak tegas, lahan tersebut bisa kembali jadi bancakan politik dan ekonomi elite.

Momentum Uji Nyali

Semua pihak kini menanti pembahasan R-APBD 2026 pada Oktober mendatang. Apakah Pemkab dan DPRD Batu Bara akan berani menjadikan percepatan pembangunan pusat pemerintahan satu atap sebagai prioritas utama? Ataukah mereka kembali larut dalam rutinitas seremonial dan politik jangka pendek yang tak berpihak pada rakyat?

Pembangunan perkantoran terintegrasi bukan sekadar proyek fisik. Ia adalah simbol kehadiran negara yang melayani rakyat dengan efisien. Ia juga cermin tata kelola pemerintahan yang tertib, profesional, dan bebas dari praktik KKN.

Jika Batu Bara ingin keluar dari jebakan pencitraan dan seremonial belaka, inilah saatnya bertindak. Rakyat sudah menunggu terlalu lama. Delapan bulan pertama pemerintahan Baharudin–Syafrizal belum menunjukkan gebrakan berarti. Tahun pertama mestinya jadi fondasi, bukan justru tenggelam dalam pesta seremonial yang hampa makna.

Menanti Keberanian

Masyarakat Batu Bara kini menunggu. Apakah pemerintah daerah benar-benar berani melanjutkan amanat RTRW dan mempercepat pembangunan? Atau justru membiarkan peluang emas ini hilang, tersandera kepentingan elite?

Batu Bara tidak butuh pemimpin yang sibuk berpanggung di depan kamera. Batu Bara butuh pemimpin yang berani mengambil keputusan, menata ruang dengan tegas, membangun infrastruktur, dan menghadirkan pelayanan publik yang nyata.

Jika tidak, sejarah hanya akan mencatat satu hal: Batu Bara kembali terjebak dalam lingkaran seremonial, sementara rakyat tetap menunggu pembangunan yang tak kunjung datang.(*)

Penulis: Jurnalis medanmerdeka.com, putra daerah

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com