Batu Bara Krisis Kepemimpinan: Jabatan Kosong, Ekonomi Lesu, Dugaan Korupsi Bayangi Pemerintahan

Sebarkan:
Bupati H Baharuddin Siagian dan Wabup Syafrizal , (foto/int)
ENAM bulan setelah dilantik, kepemimpinan Bupati Batu Bara H. Baharuddin Siagian dan Wakil Bupati H. Syafrizal menuai sorotan publik. Slogan “Batu Bara Bahagia” yang dikampanyekan keduanya dinilai masih jauh dari kenyataan. Warga mengeluhkan tidak adanya perubahan signifikan, baik di sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur.

Kondisi pemerintahan pun dianggap tidak stabil. Hingga kini, sedikitnya 12 jabatan eselon II dan III di lingkungan Pemkab Batu Bara masih berstatus pelaksana tugas (Plt). Situasi ini memperburuk sistem birokrasi, apalagi Sekretaris Daerah (Sekda) dipastikan akan memasuki masa pensiun dalam dua bulan ke depan. Kekosongan jabatan strategis tersebut dikhawatirkan semakin melemahkan roda pemerintahan.

Secara ekonomi, masyarakat mengeluhkan sulitnya mencari pekerjaan dan daya beli yang terus menurun. Pedagang kesulitan memutar modal, pengangguran meningkat, sementara angka kriminalitas, perjudian, dan penyalahgunaan narkoba ikut merajalela. Alih-alih fokus pada program pembangunan, pemerintah daerah dinilai hanya sibuk melakukan pencitraan politik.

Ironisnya, program efisiensi anggaran yang digembar-gemborkan Pemkab Batu Bara tidak berjalan sesuai harapan. Alih-alih mengurangi pemborosan, perjalanan dinas pejabat eksekutif dan legislatif masih marak. Padahal di era digital, banyak urusan dapat diselesaikan melalui rapat daring tanpa harus menghabiskan biaya perjalanan. Publik menilai jargon efisiensi hanya akal-akalan, sementara praktik pemborosan justru semakin kasat mata.

Kritik semakin tajam setelah Kejaksaan Tinggi Sumut menahan tujuh rekanan dan seorang pejabat pembuat komitmen (PPK) terkait kasus dugaan korupsi proyek jalan tahun anggaran 2022/2023. Peristiwa ini menambah daftar panjang praktik korupsi di Batu Bara. Masyarakat menduga kasus serupa juga berpotensi terjadi di sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Batu Bara pun ikut disorot. Lembaga legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan justru dianggap bungkam. Isu praktik jual-beli proyek dengan fee 15–17 persen semakin memperburuk citra wakil rakyat. Sebagian anggota dewan juga disebut-sebut kerap melakukan perjalanan dinas tanpa hasil konkret bagi masyarakat.

“Rakyat semakin sulit, sementara pejabat hidup dalam kemewahan. Mobil mewah, gaya hidup hedon, sementara masyarakat jungkir balik mencari nafkah,” ujar seorang warga dengan nada kesal.

Pengamat menilai, kondisi ini menjadi sinyal krisis kepemimpinan di Batu Bara. Dua periode sebelumnya, bupati daerah ini juga terjerat kasus hukum. Jika pola lama terus berulang, publik pesimistis pemerintahan Baharuddin–Syafrizal mampu membawa perubahan.

Di sisi lain, masyarakat menuntut DPRD dan eksekutif melaksanakan amanat Perda Nomor 11 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Batu Bara 2020–2040. Aturan itu seharusnya menjadi pedoman pembangunan, bukan sekadar dokumen di rak perpustakaan.

Kini, enam bulan setelah dilantik, pasangan Bupati–Wakil Bupati Batu Bara dihadapkan pada krisis kepercayaan. Publik menunggu bukti nyata, bukan sekadar retorika politik. Tanpa langkah cepat dan tegas, Batu Bara dikhawatirkan kembali terjebak dalam lingkaran masalah lama: birokrasi lemah, ekonomi stagnan, dan korupsi yang terus menghantui.(*)

Penulis : Zainudddin Zein, jurnalis putra daerah

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com