IUPHKm Salah Kaprah Eksploitasi Hutan Makin Parah

Sebarkan:
Danil Fahmi SH. (foto/ist)
SEMODEL dengan kavling di kawasan industri yang dikontrak selama 30 tahun bahkan bisa di extend sampai 2 kali perpanjangan, begitu pula dengan Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yang diikat selama 35 tahun. Bedanya, kavling industri jelas menghasilkan banyak pendapatan bagi negara dan masyarakat. 

Sedangkan Pengelola IUPHKm belum tentu menjalankan komitmen pengelolaan yang diperjanjikan dengan negara melalui Kementerian Kehutanan. Hal ini tak sejalan dengan ruh dan semangat yang ingin diwujudkan Pemerintah didalam pengelolaan hutan sosial bagi masyarakat.

Tak jarang, dengan IUPHKm, pengelola merasa lahan yang diberikan izin "seolah-olah" menjadi miliknya dan golongan. Pengelola hanya memikirkan keuntungan pribadi dan kelompok dengan mengeksploitasi hutan yang mereka ambil sumber daya hasil hutan tanpa melaksanakan reboisasi tutupan lahan hutan. Padahal tujuan perizinan perhutanan sosial itu adalah diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut dan/atau restorasi ekosistem.

Bila tidak ada konflik yang terjadi pada lahan perhutanan sosial maka prioritas selanjutnya adalah melakukan restorasi ekosistem yang ada. Restorasi dimaksud adalah memperbaiki ekosistem areal yang ada, bukan malah dengan pemberian izin justru menjadi eksploitasi gaya baru yang berujung memperparah pengrusakan. 

Didalam pelaksanaan komitmen lingkungan, hal mana pengelolaan perhutanan sosial, diutamakan mengedepankan prinsip keadilan, keberlanjutan, kepastian hukum, partisipatif dan bertanggung gugat. Secara sederhana, kita fahami prinsip keadilan berarti adil terhadap masyarakat juga adil terhadap alam itu sendiri, yaitu dengan terus menjaga dan memastikan prinsip keberlanjutan, yang tetap memegang teguh prinsip kepastian dan ketaatan terhadap hukum dan aturan.

Prinsip lainnya yang tak kalah penting adalah prinsip partisipatif dimana semua pihak dipersilahkan mengambil bagian didalam proses pengelolaan perhutanan sosial, tidak mesti hanya kelompok yang diberikan izin namun juga masyarakat dan Pihak lain yang ingin berkontribusi didalam kegiatan pelestarian ekosistem dimaksud. Selanjutnya, pihak-pihak yang mengelola bertanggung gugat diatas satu penyerahan hak pengelolaan perhutanan sosial.

Khusus prinsip "bertanggung gugat" dalam Perhutanan Sosial (PS) merujuk pada keharusan masyarakat untuk memikul tanggung jawab atas keterlibatannya dalam pengelolaan hutan sosial, termasuk menjawab dan bertanggung jawab secara mental, emosional, dan pelaksanaan terhadap segala upaya dan hasil yang dicapai.

Hal ini berarti masyarakat tidak hanya memanfaatkan hutan, tetapi juga wajib mempertanggungjawabkan segala tindakan dan hasilnya serta mengambil tindakan jika terjadi kesalahan atau dampak negatif dalam pengelolaan hutan tersebut. Sehingga hal ini menghilangkan dogmatis didalam pemikiran masyarakat, bahwa pengelola seolah tidak wajib dan bertanggung jawab atas kerusakan hutan yang terjadi. Lebih dari itu, justru pemberian izin perhutanan sosial justru membebankan pengelola dengan tanggung jawab menjaga kelestarian yang berat.

Ada lima jenis skema perhutanan sosial di Indonesia yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (KK). Kelima skema ini tidak lain bertujuan memberdayakan masyarakat lokal untuk mencapai kesejahteraan, keseimbangan ekologis, dan kelestarian hutan melalui pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. 

Dari kelima skema, Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah yang paling berpotensi pengabaian terhadap ekologi hutan mengingat HKm ialah pengelolaan hutan negara oleh masyarakat sekitar hutan untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan mereka melalui kegiatan seperti pengembangan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan

Sehingga dengan fokusnya adalah hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan, menyebabkan fokusnya pengelola bukanlah kepada pelestarian hutannya. Justru terjadi pembiaran terhadap pelestarian ekologi hutan itu sendiri karena pengelola lebih mengedepankan pendapatan dari jasa lingkungannya.

Untuk menghindari degradasi ekologis, didalam pengelolaan perhutanan sosial, khususnya IUPHKm, ada beberapa evaluasi mandatory yang dapat dilakukan.

  1. Evaluasi Perubahan Tutupan Lahan yaitu mengevaluasi apakah terjadi perbaikan atau degradasi tutupan hutan di areal IUPHKm sebelum dan sesudah diberikan izin pengelolaan.
  2. Evaluasi Kondisi Hutan Secara Umum yaitu penilaian terhadap kondisi hutan secara menyeluruh. Tidak hanya kondisi ekologi, namun juga aspek lain didalam pengelolaan dimaksud.
  3. Evaluasi Kepatuhan Terhadap Rencana Pengelolaan yaitu dengan memastikan kegiatan pemanfaatan sesuai dengan rencana pengelolaan hutan kemasyarakatan yang sudah disahkan, hal ini didalam izin pengelolaan itu berbasis komitmen pengelola dan pemerintah. 
  4. Evaluasi Aspek Lingkungan Eksternal yaitu mengembangkan kriteria evaluasi untuk mencakup aspek lingkungan eksternal, seperti kebijakan dan pendampingan yang mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan.

Ada tiga tujuan utama kegiatan evaluiasi perhutanan sosial yaitu :

  1. Mengukur Keberhasilan Program yaitu untuk mengukur keberhasilan program Hutan Kemasyarakatan (HKm) dalam memperbaiki kondisi tutupan dan kualitas hutan, sebelum dan sesudah izin pengelolaan perhutanan sosial diberikan. Disinilah dapat dilihat keberhasilan perencanaan pelestarian ekologi dan ketaatan/kepatuhan pengelola didalam menjalankan kegiatan reboisasi hutan.
  2. Mendukung Pengelolaan Berkelanjutan yaitu memberikan masukan dan data untuk mendukung pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan. Bahwa pengalaman pengelola didalam melaksanakan pelestarian memberikan kajian analisa lingkungan yang diberikan kepada pihak pemerintah sebagai acuan solusi bagi pelestarian di wilayah lain. 
  3. Mencegah Pelanggaran Izin yaitu memastikan tidak ada pemindahtanganan, pengagunan, atau penggunaan izin di luar rencana pengelolaan, yang jika dilanggar dapat berujung pada sanksi pencabutan izin.

Demikian kajian tentang perhutanan sosial khusus hutan kemasyarakatan yang seyogyanya menjadi solusi bagi masyarakat didalam berdampingan dengan kawasan dan ekosistem hutan. 

Bahwa hutan juga adalah entitas dan identitas yang harus terus kita jaga kelestariannya, sehingga penambahan embel-embel sosial pada kata hutan bukan justru menjadi perusak ekosistem hutan itu sendiri, padahal ruh dan semangat sosial itu hutan itu punya kebermanfaatan sejatinya baik bagi masyarakat.(*)

Penulis : Danil Fahmi SH, Advokat sekaligus pemerhati ligkungan dan sosial putra Batu Bara.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com