Bencana Sumatera : Harga Diri, lupa Diri dan Sadar Diri

Sebarkan:
Choking Susilo Sakeh,
SALAH satu hikmah terbesar yang diperoleh rakyat di negeri ini dari sebuah bencana alam, adalah : rakyat dengan gampang dan bebas bisa menilai, bagaimana sesungguhnya kualitas dan karakter kepemimpinan para pemimpin di level pusat maupun di daerah.
Saat Bencana Tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 misalnya, seluruh rakyat Indonesia dan dunia mengacungkan jempol serta rasa hormat kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK), atas kemampuannya menangani bencana tersebut secara luar biasa. Padahal, duet SBY/JK baru sekitar 66 hari menjadi pemimpin tertinggi di Indonesia, setelah dilantik sebagai Presiden/Wakil Presiden pada 20 Oktober 2004. 

Mereka tidak cuma sekedar sosok pemimpin yang punya akal, otot dan mulut. Tapi, lebih dari semua itu, SBY/JK adalah pemimpin yang mengedepankan hati nurani. Sehari setelah terjadi tsunami, keduanya sudah hadir di Aceh, sekaligus menetapkan bencana tersebut sebagai ’Bencana Nasional’. 
Lantas, bagaimana penanganan bencana yang terjadi di  Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh pada 25 November 2025? 

Banyak fihak menyebutkan, skala bencana ini jauh lebih dahsyat dibanding tsunami Aceh tahun 2004 tersebut.  Yak, lebih dahsyat. Dan pemerintah pusat, ternyata sangat lamban menanganinya, atau bahkan juga tak becus! 

Sudah hampir satu bulan setelah bencana, masih ada desa yang terisolir, masih banyak korban yang berjuang sendiri menyelamatkan diri dari lapar dan sakit. Entah berapa banyak korban yang wafat bukan karena diterjang banjir atau longsor, melainkan karena tak ada yang menolongnya dari sakit dan lapar seusai bencana. 

Namun, pemerintah pusat merasa paling gagah perkasa dan mampu mengatasinya sendiri, apapun masalah yang ada di lokasi bencana. Pemerintah menutup diri dari bantuan fihak luar, demi “harga diri” sebagai bangsa terhormat. Pemerintah tak mau menetapkan bencana kali ini sebagai “Bencana Nasional”. Lebih menggelikan, pemerintah menolak bantuan luar negeri, karena menganggap “kita adalah bangsa terhormat dan masih sanggup mengurusnya sendiri”. 

Harga diri? Bangsa yang terhormat? Welleh…

Terhormatkah, jika setiap tahun ribuan rakyatmu mencari kerja menjadi buruh dan pembantu rumah tangga di luar negeri? Terhormatkah, jika setiap tahun negaramu mencari pinjaman hutang dari negara lain? Terhormatkah, jika ternyata kau lambat membantu rakyatmu yang menjadi korban bencana? Sungguh, sebuah pemerintahan yang membunuh akal sehat rakyatnya!

Sikap mengutamakan harga diri itu, sesunguhnya lahir dari sikap pemimpin nir-empati, lahir dari sikap pemimpin yang memimpin tanpa hati nurani. Karenanya, rakyat di negeri ini layak merasa semakin cemas, jangan-jangan banyak pemimpin negeri ini tidak bakalan terkena penyakit hepatitis, karena sesungguhnya mereka memang tidak punya hati.

Mangkanya…

*

Bahwa hak untuk hidup rakyat Indonesia dijamin oleh UUD RI 1945. Karenanya, pemerintah dengan segala daya upaya berkewajiban menjamin hak hidup para penyintas bencana. Dengan menetapkan Bencana Sumatera sebagai “Bencana Nasional”, yang itu artinya juga membuka pintu bagi fihak asing untuk ikut membantu, adalah satu-satunya cara terbaik saat ini di dalam menjamin hak hidup para penyintas bencana. 

Selama lebih tiga minggu terjadinya bencana, pernyataan pemerintah tetap saja selalu bertolak belakang dengan kondisi di lokasi bencana. Berbagai fakta tentang lambannya penanganan bencana oleh pemerintah pusat, pastilah tak bisa ditutup-tutupi oleh konferensi pers dari puluhan para menteri.

Sangat celakanya, pernyataan para pejabat pembantu presiden, termasuk juga beberapa pernyataan Presiden Prabowo sendiri, lebih sering membunuh akal sehat bahkan menganggap rakyat Indonesia adalah sekumpulan orang-orang bodoh. Sungguh, ini sesuatu yang mem-bagong-kan…

Lamban dan atau bahkan tak becusnya pemerintah pusat dalam memenuhi hak hidup penyintas bencana hingga kini,  itu tak cuma sekedar melanggar konstitusi tentang hak hidup rakyat. Tetapi adalah cermin dari sikap “lupa diri” para pemimpin terhadap rakyatnya yang selama ini telah jungkir balik membayar berbagai pajak dan retribusi untuk menggaji para pejabat tersebut. 

Bahwa, rakyat adalah pemilik sah negeri ini. Melalui pemilu, rakyat memberi kuasa kepada pemerintahan yang terpilih untuk mengelola negeri ini secara baik dan benar demi kesejahteraan rakyat sebagai pemilik negeri. Brengseknya, pemerintahan terpilih saat ini menganggap, bahwa merekalah sesungguhnya pemilik negeri ini. Karenanya, cuma merekalah yang berhak menentukan hak hidup rakyatnya. 

Bahwa, suka atau tidak, Bencana Sumatera telah memperlihatkan wajah asli para pemimpin dan pemerintahan yang berkuasa saat ini. Ternyata, para pemimpin dan pemerintahan yang merupakan hasil dari Pemilu 2024, adalah pemimpin dan pemerintahan yang lebih mengutamakan “harga diri” secara kelewatan, sehingga mereka sampai “lupa diri” kalau mereka dipilih sesungguhnya bukan untuk menjadi pemilik negeri ini.  Bahwa, pemerintahan saat ini ternyata hanya mengandalkan otak, otot, muncung, dan sama sekali mengabaikan hati nurani.

Sudah sangat banyak teriakan rakyat dan tokoh masyarakat agar penanganan pasca bencana bisa lebih gesit dan pasti. Satu-satunya cara terbaik, adalah dengan meningkatkan statusnya menjadi “Bencana Nasional”. Namun, pemerintahan tanpa hati nurani ini tetap saja mengabaikan teriakan rakyatnya tersebut, demi “harga diri”-nya yang konon terhormat itu.

Maka, sepertinya, sudah saatnyalah rakyat bermunajat langsung ke pintu langit, bermohon kepada Sang Maha. Bisa dengan meruwat massal para pemimpin tanpa nurani itu, atau melakukan do’a massal agar para pemimpin segera “sadar diri”. Jika tidak, negeri ini akan semakin terpuruk sehina-hinanya. 
Mangkanya…
-------------------------------------------
*Penulis : Choking Susilo Sakeh, Jurnalis Utama, patuh membayar pajak, taat kepada pemerintah.
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com