Presiden Jokow Widodo (Jokowi) meletakkan batu pertama revitalisasi lapangan Merdeka, Medan, beberapa waktu lalu. (foto/ist) |
Kekuatiran itu disampaikan Redyanto Sidi SH dari Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Humaniora selaku Kuasa hukum Prof Usman Pelly dkk dari KMSM-SU saat temu pers di lapangan Merdeka, Jumat (5/8/2022). Dikatakan, terkait hal itu KMS M-SU mengkaji lagi langkah hukum yang akan dilakukan upaya penyelamatan lapangan merdeka sebagai Cagar budaya.
Ditambahkan Redyanto, dengan keputusan inckracht van gewjisde pada 29 Juli 2022 oleh Pengadilan Tinggi Medan, menetapkan Lapangan Merdeka sebagai cagar budaya. Untuk itu, Walikota Medan sebagai tergugat/pembanding harus mentaati hukum dengan menjalankan isi putusan termasuk untuk merestorasi dan melestarikan lapangan merdeka.
Ternyata menurut Redyanto, Pemko Medan tidak mengindahkan putusan itu dan tetap merevitalisasi Lapangan Merdeka yang berpotensi merusak cagar budaya. “Dengan putusan itu namun tetap dilakukan revitalisasi, ada peluang kita untuk melakukan gugatan kembali, kita akan kaji upaya langkah hukum menyelamatkan lapangan merdeka. Dan kita butuh dukungan dari masyarakat publik,” sebut Redyanto.
Sementara itu Penasihat KMSM-SU Prof Usman Pelly menekankan kepada Pemko Medan agar benar benar membenahi dan melestarikan Lapangan Merdeka sebagai cagar budaya sekalgus dijadikan situs kemerdekaan. Menurut Usman Pelly, Lapangan Merdeka harus dijaga dan dilestarikan sebagai tempat sakral dikumandangkannya hari kemerdekaan.
“Sejarah itu harus diwariskan kepada anak cucu kita. Di lapangan Merdeka inilah Kemerdekaan RI dikumandangkan. Kita tidak boleh sepele dan harus kita tebarkan kepada generasi muda agar terus tumbuh rasa cinta tanah air,” sebut Usman Pelly.
Miduk Hutabarat ST, aktivis dan komunitas taman menyampaikan, dengan ditetapkannya Lapangan Merdeka sebagai Cagar Budaya tentu perlakuan harus sesuai kaidah Cagar Budaya dan status ruang publik yakni menjadi milik semua masyarakat.
Bahkan, masalah luas lahan lapangan merdeka 175 x 275 m atau sekitar 4,88 Ha harus dikembalikan. Sedangkan pembuatan lobang di bawah tanah sebagai sarana parkir disebut menyalahi tata ruang karena akan mempengaruhi resapan air.
Begitu juga soal pemanfaatan lahan, menurut Miduk Hutabarat tidak ada pemanfaatan lahan untuk komersial. Sama halnya dengan terkait adanya dua sertifikat lahan lapangan merdeka. Menurut Miduk, perlu dikembalikan menjadi satu sertifikat guna menghindari dualisme kepemilikan dikemudian hari.
Selain itu, Miduk Hutabarat mendorong Pemko Medan supaya segera mendaftarkan Lapangan Merdeka sebagai Cagar Budaya ke Dirjen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Begitu juga soal status Lapangan Merdeka, diminta kepada Walikota Medan bersama Gubernur Sumatera Utara supaya segera mendaftarkan sebagai situs kemerdekaan.
Terkait revitalisasi dengan pembangunan parkir dibawah tanah, praktisi dan sekretaris HPJI Ir Burhan Batubara mengatakan, bahwa pembangunan parkir tidak menjadi prioritas yang kesannya memanjakan pemilik mobil pribadi.
Tetapi yang paling utama adalah memprioritaskan angkutan massal dan mengajak masyarakat naik angkutan massal berkunjung ke Lapangan Merdeka. Di lapangan Merdeka dapat menikmati suasana Cagar budaya dan situs kemerdekaan.
Menurut Burhan, dari sisi transportasi daerah Lapangan Merdeka merupakan titik penting. Karena bila terjadi kemacetan di kawasan Lapangan Merdeka akan berdampak ke seluruh wilayah kota Medan.
Untuk itu, Walikota Medan harus memiliki keberanian untuk tidak memanjakan amgkutan pribadi yang berputar putar di inti kota. Tetapi tetap memprioritaskan angkutan massal yang butuh peningkatan sarana dan fasilitas lainnya. “Kalau untuk bangun parkir di bawah tanah tentu biaya mahal dan akan merusak lingkungan,” cetus Burhan. (mm/ril)