Buku “Palito ni si Boru Toba”, terbitan Kepompong Publisher tahun 2022. (foto/ist) |
Misalnya, cerpen “Hak Mamak Hilang” karya Imelda Hutagalung. Berkisah tentang hubungan dan posisi seorang ibu dengan putera tunggalnya, di kala sang ibu telah bercerai dengan sang ayah dan kemudian keduanya menikah lagi dengan pasangan yang lain. Beberapa kali aku tersentak kaget, juga sesunggukan, terutama saat berlangsungnya acara adat pernikahan sang putera.
Padahal, ya itu tadi, kisah semacam ini tak asing buatku. Beberapa bulan lalu misalnya, media massa dan media sosial riuh mengabarkan tentang konflik seorang ibu dengan anak gadisnya, saat acara pernikahan sang anak gadis di sebuah gereja di Medan.
Ada 20 cerpen yang dikumpulkan di buku ini. Ditulis oleh 18 perempuan dan dua orang lelaki. Semua cerita di cerpen ini mengambil setting tentang kehidupan perempuan Toba. Lebih tegasnya : sebuah “perlawanan” perempuan Batak atas perlakuan adat istiadat yang mereka terima.
Aku tak berani masuk ke wilayah “perlawanan” ini, karena aku memang tak punya kompetensi untuk membahas hal ini. Walaupun sesungguhnya, sebagai lelaki yang menjunjung kesetaraan gender, aku merasa mesti berada di fihak perempuan Toba ini.
Apapun itu, aku wajib menghormati kerja mulia para penulis cerpen di buku ini. Sebab, mereka telah berkenan mengabarkan “sesuatu yang semula terasa biasa” -- karena selalu kutemui dalam kehidupan perempuan Toba sehari-hari -- menjadi “sesuatu yang penting” melalui karya cerpen mereka.
Akupun tidak akan menelaah teknis penulisan cerpen ini. Sebab, aku sangat yakin bahwa pembaca juga sudah cukup cerdas dibanding aku. Lagipula, seperti kata penyair WS Rendra, kurang lebih : “Dalam ilmu silat, tidak ada juara dua, yang ada hanyalah juara satu. Dalam ilmu surat, tidak ada juara satu, yang ada hanyalah para juara dua”.
Terimakasih, telah Menulis...
Di tengah lemahnya tradisi literasi di negeri ini, termasuk Sumatera Utara, maka penerbitan buku kumpulan cerpen “Palito ni si Boru Toba" ini layak kuacungi jempol. Survei Lembaga PISA (Program for International Student Assesment) Maret 2019 misalnya, menyebutkan bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara, dan Sumut berada di tingkat 18 dari 34 provinsi.
Sedangkan tentang penerbitan buku, menurut IPA (International Publishers Association) thn 2018, Indonesia cuma menerbitkan 18.000 judul buku per tahun, atau 72 judul buku untuk satu juta penduduk. Bandingkan dengan Amerika, yang menerbitkan 2.875 judul buku untuk satu juta penduduk. Karenanya, terimakasihku, buku “Palito ni si Boru Toba” telah ikut mendobrak rendahnya tradisi literasi itu.
Aku beruntung, seorang sahabat karibku memperkenalkanku dengan Maria Julie Simbolon. Perempuan muda kreatif yang menggagas penulisan buku ini sekaligus juga penanggungjawab peluncuran buku “Palito ni si Boru Toba”, Jum'at 29 Juli 2022 di Hotel Hermes Medan. Maria menyumbang satu judul cerpen, “Palito ni si Boru Toba”, yang kemudian dijadikan sebagai judul buku kumpulan cerpen ini. Dan aku merasa terhormat, karena Maria telah mengundangku ke acara yang mulia tersebut.
Ke depannya, tantangan bagi para penulis buku ini adalah bagaimana mereka semakin berani tetap bersikap jujur, sehingga karya tulis mereka semakin dipercaya publik. Selebihnya, mereka harus lebih siap membuka diri dengan perkembangan teknologi dan berbagai flatform aplikasi media sosial, yang kelak bisa dimanfaatkan sebagai media bagi karya tulis mereka.
Dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang dimiliki buku kumpulan cerpen “Palito ni si Boru Toba" ini, aku merekomendasikan buku ini sangat layak dibaca oleh siapapun. Sebab, buku ini tak cuma sekedar sebuah kisah, tapi juga bercerita tentang sebuah kultur dan kehidupan manusia.
Kepada sesiapa yang telah memiliki buku ini, aku ingatkan sebuah pesan Gus Dur. Katanya : “Yang meminjamkan buku, adalah orang bodoh. Yang mengembalikan buku pinjaman, adalah orang gila”.
Oh ya, perlu juga diingat pesat Joseph Brodsky (Penyair Rusia-Amerika, 1940, Pemenang Nobel Sastra 1987). Katanya, lebih kurang : “Membakar buku adalah kejahatan. Tetapi ada yang lebih jahat dari itu, yakni tidak membaca buku”.
Mangkanya...
“Penulis Choking Susilo Sakeh, penggemar tulis menulis, menetap di Medan.