Agak Laen Kutengok (2) : Selamat Ultah Kota yang Kering

Sebarkan:
CHOKING SUSILO SAKEH.
PESTA di kotaku baru saja usai…

Persis 1 Juli 2024, kotaku berulang tahun. Beberapa hari kemudian, “Sang Penguasa Kota”, juga berulang tahun. Pesta pun digelar. Ada pagelaran seni dan budaya ‘klenengan’  --  seni-budaya hiburan untuk pemuas syahwat mata semata, karya kreatif seni-budaya yang kering tanpa roh dan makna filosofis penuntun etika.

Pesta mesti berlangsung meriah. Warga diajak bersukaria menyaksikan, misalnya, ‘Karnaval Budaya’ : Ratusan orang berpawai di jalanan mengenakan pakaian beberapa etnis yang ada. Ratusan orang menyajikan tarian dan nyanyian dari beberapa etnis dan seterusnya. Ada juga pagelaran hiburan  --  mengatasnamakan seni dan budaya, dan seterusnya.

Oh ya, semoga melalui pesta ultah ini, ada warga yang lupa dengan pemasangan U-Ditch proyek drainase yang di beberapa tempat dibiarkan bolong terbengkalai.  Semoga melalui pesta ultah ini, ada warga yang lupa dengan berbagai proyek lainnya yang dijanjikan segera siap, melupakan kemacetan di jalan raya, melupakan janji bebas banjir, melupakan begal dan geng motor, melupakan banyak hal rumit lainnya.

Pun, semoga melalui pesta ini, ada warga yang lupa dengan Proyek Total Loss Lampu Pocong. Aikh,  mestinya ada satu saja Lampu Pocong yang dibiarkan berdiri. Sebiji Pocong yang masih ada itu, tentunya menjadi menarik untuk dijadikan sebagai penanda dan pengingat, bahwa suatu ketika kota ini pernah dikelola secara ugal-ugalan dan sor sendiri. Dan jangan-jangan, bisa pula menjadi objek wisata. Minimal sebagai foto-booth untuk sarana foto selfie

Semoga melalui pesta ultah ini, ada warga yang lupa dengan tak adanya lagi ruang bagi kreativitas seni dan budaya yang sarat roh penuntun moral dan peradaban luhur. Yang dipelihara cumalah kesenian dan kebudayan yang menghibur, seni budaya sebagai lipstick semata. Untuk para seniman yang bergulat mencoba menghasilkan karya-karya sarat makna filosofis sebagai penuntun etika, maaf, tak ada fasilitas dan ruang untuk itu. Dan atas nama revitalisasi, gedung Taman Budaya maupun bangunan dan objek Sejarah, diporakporandakan fungsi dan perannya untuk kepentingan modernisasi dan kapitalisasi.

Yak, semoga melalui pesta ultah ini, ada warga yang lupa dengan senyapnya suara kritis para wakil rakyat dan para jurnalis. Namun, semoga tak ada warga yang lupa bahwa mereka adalah warga Kota Medan.

Mangkanya…

Kota yang Kering

Berapapun usia sebuah kota, mestinya kota tak akan pernah tua. Jika dikelola dengan cerdas dan rendah hati, sebuah kota akan semakin muda, renyah dan nyaman. Sebaliknya, jika dikelola dengan angkuh dan sor sendiri, maka sebuah kota akan terlihat ringkih, berantakan, tak nyaman dan kering tanpa roh.

Kota yang kering cumalah susunan tembok-tembok menjulang tinggi, penanda sebagai modernisasi dan investasi. Tak ada tempat, ruang dan fasilitas untuk roh sejarah dan peradaban leluhur. Juga tak dibutuhkan karya-karya seni budaya sarat makna filosofis sebagai penuntun etika.

Alkissah, jika merujuk pada Pemko Medan, maka 1 Juli 1590 ditetapkan sebagai hari jadi Kota Medan. Hal itu berdasarkan perkiraan, bahwa pada saat itulah Guru Patimpus membuka sebuah perkampungan, Kampung Medan, yang terletak diantara pertemuan Sungai Babura dan Sungai Deli. Pada tahun 1833, seorang warga Inggris, John Anderson, menemukan perkampungan Medan tersebut. Dan pada 1909, Pemerintahan Hindia Belanda memberi status kota, serta menjadikan Medan sebagai pusat pemerintahan Keresidenan Sumatera Timur.

Hingga kini, Pemerintahan Kota Medan telah dipimpin sebanyak 18 orang Walikota. Untuk pertama kalinya, Kota Medan dipimpin oleh Luat Siregar (17 Agustus-9 November 1945). 

Saya yakini, bahwa sejarah Kota Medan adalah sejarah tentang kecerdasan dan sikap rendah hati. Saat membuka Kampung Medan, Guru Patimpus pastilah bermodalkan kecerdasan serta sikap rendah hati. Sebab, jika Guru Patimpus membangun Kampung Medan secara ugal-ugalan, angkuh dan sor sendiri, pastilah Kota Medan tidak akan berusia panjang hingga kini.

Begitu pula saat Pemerintahan Hindia Belanda membangun Kota Medan sebagai pusat pemerintahannya untuk Keresidenan Sumatera Timur, juga berdasarkan kecerdasan dan sikap rendah hati. Tanpa kecerdasan dan sikap rendah hati, Kota Medan tak akan dilirik fihak luar, baik untuk sekedar berkunjung apalagi untuk ikut berinvestasi.

Saat Kota Medan dipimpin Walikota ke-13, Kolonel (purn) Bachtiar Djafar (1 April 1990-1 April 2000), pun saya yakin bahwa Bachtiar mengelola kota dengan cerdas dan rendah hati. Program Bachtiar Djafar membangun kantor-kantor Kecamatan dan Kelurahan serta kewajiban membuat ornamen etnis Melayu  --  sebagai etnis tempatan  --  pada setiap kantor pemerintahan, itu adalah program cerdas dan rendah hati. Dan program itu telah menjadikan Kota Medan terlihat semakin muda, serta terhindar menjadi kota yang kering tanpa roh peradaban. Begitu pula program Bachtiar Djafar membuka poros jalan ring-road serta beberapa jalan baru, itu adalah program yang cerdas dan rendah hati, yang kelak kemudian terbukti menjadikan kota terhindar dari kesemrawutan dan kesumpekan. 

Andaipun di usianya yang ke-434 tahun saat ini,  Kota Medan terasa tak nyaman : macet, begal, berantakan, kering tanpa roh dan seterusnya, boleh jadi itu karena kota tidak dikelola dengan cerdas dan rendah hati. Tapi, yak, lupakanlah itu  --  sejenakpun jadi.

Aku mencoba Kembali mengingatkan  --  sekali lagi  --  bahwa pada Pilkada Medan 2020 lalu, Bobby Nasution hanya dipilih oleh 393.327 pemilih. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Medan saat itu sekitar 2,44 juta jiwa, maka Bobby Nasution hanya dipilih oleh sekitar 16,12 persen dari jumlah warga Kota Medan yang ada. 

Jelaslah, bagaimana rendahnya tingkat legitimasi Bobby Nasution saat memimpin Kota Medan. Maka, jika kemudian Bobby Nasution mengelola Kota Medan dengan angkuh dan sor sendiri  --  meski didukung penuh oleh penguasa  --   pastilah hanya akan membuat kota menjadi kering dan tak nyaman. Sebab, ya itu tadi, masyarakat tak merasa perlu untuk mendukungnya.

Mangkanya…(*)

-------------------------------

*Penulis adalah Jurnalis, menetap di Medan

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com