![]() |
Penggarap ilegal menanam ubi di lahan pertapakan perkantoran Bupati Batu Bara. (foto:mm/zein) |
Kepala Bidang Aset Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Batu Bara, Boster Marpaung, mengungkapkan hingga saat ini belum ada pihak yang secara resmi mengajukan izin sewa lahan tersebut. “Belum ada yang menyewa secara resmi berdasarkan kontrak,” ujar Boster kepada medanmerdeka.com , kemarin.
Mengacu pada surat KPKNL Kisaran Nomor: S-759/KNL.0203/2024 tertanggal 4 Oktober 2024, tarif sewa dibagi dalam dua kategori berdasarkan lokasi dan kondisi lahan:
- Lahan seluas 20 hektar di belakang Kantor Bupati saat ini, ditetapkan dengan tarif sewa sebesar Rp327.420.000 per tahun, atau sekitar Rp17 juta per hektare.
- Lahan seluas 10 hektar di belakang Kantor Bupati lama, disewakan dengan tarif Rp130.968.000 per tahun, atau sekitar Rp13 juta per hektar.
Boster menjelaskan bahwa perbedaan harga disebabkan oleh umur tanaman sawit yang berada di atas lahan. “Di atas lahan 20 hektar, sawitnya sudah berusia tujuh tahun, sementara di lahan 10 hektar baru berusia tiga tahun,” jelasnya.
Penetapan tarif sewa ini juga telah diperkuat melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Batu Bara Nomor: 823/BKAD/2024 tertanggal 3 Desember 2024.
Namun demikian, belakangan ditemukan adanya aktivitas penanaman ubi di lahan tanpa izin resmi. Saat ditanya mengenai hal ini, Boster menyatakan, “Sampai saat ini belum ada kontrak sewa resmi. Kalau ada yang menggarap, itu berarti penggarap ilegal,” pungkasnya.
Saat ditanya mengenai langkah konkret dari Pemkab Batu Bara untuk menindak penggarap, Boster enggan memberikan komentar lebih lanjut. (zein)