![]() |
Seorang bocah bertarung hidup mengais rezeki dengan berjualan kerupuk keliling kerap diperas premanisme di Kota Medan. (foto/ist) |
CUACA sore kemarin cukup menyengat kulit. Namun, suasana di pelataran Masjid Al Jihad, Jalan Abdullah Lubis, Medan, Sumatera Utara, tampak seperti biasa: ramai oleh jamaah, pedagang kaki lima, dan lalu-lalang kendaraan. Tapi di antara keramaian itu, tampak seorang bocah lelaki kecil memanggul kantong pelastik besar berisi kerupuk jangek. Namanya Riki. Usianya baru 12 tahun.
Setiap hari, selepas pulang sekolah sekitar pukul 13.00 WIB, Riki tak langsung pulang atau bermain seperti anak-anak lain. Ia justru memulai "pekerjaan" keduanya — menjajakan kerupuk jangek kepada para jamaah masjid.
Berdiri dua hingga tiga jam di bawah terik atau gerimis, ia mencoba mengais rezeki dari pembeli yang lewat. Ini sudah dilakukannya sejak ia berusia 9 tahun.
Namun berdagang bukanlah satu-satunya tantangan Riki. Di balik aktivitasnya yang sederhana itu, ia berhadapan dengan bahaya yang tak pantas dialami anak seusianya: pemerasan oleh preman jalanan.
“Awal-awal jualan dulu, sering diperas, Kak. Pas pulang, mereka tungguin, mereka ambil semua uang jualanku,” kata Riki lirih sambil menunduk, menggenggam erat kantong dagangannya.
Preman-preman itu tahu Riki sendirian, kecil, dan tak punya pelindung. Mereka merampas uang hasil jerih payahnya. Beberapa kali, Riki pulang dengan tangan kosong — air matanya mengalir karena kerja kerasnya tak membuahkan hasil.
Dalam sehari, Riki bisa menghasilkan hingga Rp150 ribu. Uang itu digunakan untuk membantu orang tuanya. Ayahnya seorang tukang ojek, ibunya menjaga warung kecil di rumah. Sebagai anak sulung dari empat bersaudara, Riki memikul tanggungjawab besar untuk untuk membantu keluarganya.
Meski berulang kali diteror, Riki tidak menyerah. Ia justru mencari cara untuk bertahan. Kini, setelah selesai berdagang, ia menitipkan uangnya ke pedagang lain yang ia percaya. Ia pura-pura pulang, lalu kembali setelah para preman tersebut pergi.
“Nanti kalau udah sepi dan mereka udah pergi, aku balik ambil uangku,” ujarnya, tersenyum kecil dengan mata berbinar.
Keberanian Riki bukan datang dari kekuatan fisik, melainkan dari pelajaran hidup — dan dari seorang guru di sekolahnya.
“Kata Bu Guru, walaupun aku nggak bisa silat atau karate, aku harus tetap pintar jaga diri. Jangan kasih mereka kesempatan,” kenangnya.
Riki tak punya waktu untuk ikut ekstrakurikuler atau sekadar bermain. Masa kecilnya nyaris hilang, tergantikan oleh tanggung jawab yang seharusnya belum menjadi miliknya.
Kisah Riki hanyalah satu dari banyak potret getir kehidupan anak-anak di kota besar. Mereka tumbuh di tengah kerasnya ekonomi dan ancaman sosial, sementara sistem perlindungan kerap abai. Premanisme masih hidup di sudut-sudut kota — bahkan tak segan mengincar anak-anak.
Pemerintah Kota Medan, aparat keamanan, dan tokoh masyarakat seharusnya tak menunggu lebih banyak cerita seperti ini untuk bertindak. Kota yang tak bisa melindungi anak-anaknya bukanlah kota yang layak dibanggakan. Riki berani, meski tubuhnya kecil. Tapi ia tak seharusnya berjuang sendiri. (Penulis: Novi Anggraini – Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, UIN Sumatera Utara)