![]() |
Kantor Bupati Batu Bara berdiri gagah di Kecamatan Limapuluh. (foto/dok) |
Sejumlah pedagang di sepanjang jalur Limapuluh-Siantar, Medan-Kisaran mengeluhkan rendahnya daya beli masyarakat. Harga kebutuhan pokok yang terus melambung membuat aktivitas jual beli lesu, bahkan sebagian pedagang mengaku mulai mempertimbangkan untuk menjual ruko karena minimnya pembeli.
“Kami kesulitan bertahan. Setiap hari barang kebutuhan pokok makin mahal, tapi pembeli makin sepi,” ujar seorang pedagang yang enggan disebut namanya.
Warga juga mengeluhkan tindakan aparat lalu lintas yang dinilai terlalu ketat saat menertibkan pengendara. Hal ini, menurut sejumlah pedagang, berdampak pada berkurangnya minat masyarakat dari desa sekitar untuk datang berbelanja ke Limapuluh.
“Penindakan lalu lintas dilakukan pagi, siang, bahkan malam. Akibatnya, pembeli dari luar takut masuk ke kota. Ini sangat berdampak bagi kami,” tambah pedagang lainnya.
Mereka berharap Pemkab Batu Bara dan DPRD Dapil I Limapuluh dapat lebih peka terhadap situasi ini. Warga juga meminta agar keberadaan pos pengaturan lalu lintas di persimpangan empat Limapuluh dikaji ulang. Menurut mereka, keberadaan kantor tersebut mengubah fungsi area yang sebelumnya menjadi pusat aktivitas masyarakat.
“Salah satu permintaan kami adalah mengembalikan fungsi persimpangan dengan penerapan traffic light, bukan pos penjagaan lalu lintas permanen,” ujar warga.
Kritik juga diarahkan pada keberadaan sejumlah kantor pemerintahan seperti Kantor Bupati, DPRD, Satpol PP, dan PMD di Limapuluh yang dinilai tidak berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi lokal.
“ASN yang berkantor di Limapuluh justru banyak yang memenuhi kebutuhan sehari-harinya di luar kota. Ekonomi warga tak tersentuh,” ungkap warga lainnya.
Ironisnya, DPRD Batu Bara disebut hanya aktif di awal pekan, selebihnya banyak melakukan kunjungan kerja (kunker) yang dinilai tidak berdampak pada pelayanan publik. Bahkan, beberapa warga menduga kegiatan tersebut fiktif.
Terkait hal ini, warga menyinggung implementasi Perda No. 11 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, di mana Limapuluh ditetapkan sebagai pusat pemerintahan. Warga meminta perda tersebut dijalankan dengan serius, atau direvisi bila dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan saat ini.
Di sisi lain, warga mengungkapkan kecemburuan sosial terhadap pembangunan infrastruktur yang dinilai tidak merata. Dalam tahun pertama masa jabatan Bupati Baharuddin dan Wakil Bupati Syafrizal, pembangunan besar justru difokuskan ke kampung halaman Bupati dengan anggaran lebih dari Rp13 miliar, sementara wilayah ibu kota tidak tersentuh pembangunan berarti.
“Kami bukan menolak pembangunan di daerah lain, tapi sebagai pusat pemerintahan, Limapuluh juga berhak merasakan dampaknya,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Masyarakat berharap ke depan, Pemkab Batu Bara benar-benar serius membangun wilayah ibu kota, terutama dalam mempersiapkan sumber daya manusia untuk menyambut Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang diproyeksikan menyerap hingga 80.000 tenaga kerja pada 2030.
“Kami butuh perhatian, bukan janji. Jangan sampai DPRD dan pejabat hanya sibuk menaikkan anggaran tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.(zein)