Si Pocong, Ongkos Belajar Jadi Walikota

Sebarkan:

SI POCONG Lampu, kini dinyatakan gagal. Lantas, apakah masalahnya selesai?

Sebagai jurnalis yang sering mengkritisi berbagai kebijakan Walikota Medan Bobby Nasution  (eh, jangan bandingkan dengan anggota DPRD Medan yang digaji oleh rakyat, ya…), aku harus berterimakasih dan salut kepada Bobby Nasution yang mau dan mampu menyatakan, bahwa proyek Lampu Pocong adalah proyek gagal. 

Bobby Nasution menyatakan, kegagalan diduga karena ada kelalaian dalam perencanaan. Maka, sekitar 1.700 unit lampu Pocong akan dibongkar; dana yang sudah dibayarkan kepada kontraktor senilai Rp 21 miliar dari total anggaran sebesar Rp 25,7 miliar,harus dikembalikan; dan dibentuk tim adhoc untuk mencari siapa pejabat yang lalai. Lalu, selesaikah?

Sekali lagi, hormat dan salutku kepada Bobby Nasution.

Sebagai salah seorang warga Medan yang masih setia membayar pajak  --  berarti ikut tek-tekan (berkontribusi) membiayai proyek Lampu Pocong tersebut, sekaligus ikut membayar gaji Walikota Medan dan para anggota DPRD Medan  --  aku tak ingin membahas bagaimana kelanjutan nasib si Lampu Pocong itu : apakah selesai begitu saja, atau ada konsekuensi hukum yang mesti ditanggungjawabi.

Aku hanya ingin mengajak kita mengambil banyak hikmah dari kasus ini. Ya, banyak hikmah…

Ongkos Belajar

Pertama, bahwa menjadi Walikota Medan tak cukup hanya bermodalkan garis keturunan semata. Adalah fakta, bahwa Medan adalah kota ‘auto pilot’ sejak lebih 15 tahun. Karenanya, menjadi Walikota Medan harus punya kredibilitas yang teruji, keberanian yang tangguh, dan tidak mentang-mentang. Dari kasus Lampu Pocong ini, kita pun bisa mengukur sampai dimana tingkat kredibilitas dan keberanian Bobby Nasution sebagai Walikota Medan.

Berikutnya, makna kata ‘kolaborasi’ yang menjadi tagline pemerintahan Boby Nasution, ‘Kolaborasi Berkah”, sesungguhnya indah jika dalam pelaksanaannya sesuai dengan makna yang tertera pada buku Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Namun jika dalam pelaksanaannya malah menjadi “Kolaborasi Sor Sendiri”, maka yang akan diperoleh bukan berkah, tapi musibah.

Bahwa sejak awal proyek Lampu Pocong ini sudah dihujani protes oleh banyak warga Medan. Pemberian nama “Pocong” pada lampu ini, pun merupakan bentuk  protes tersebut. Namun, Bobby Nasution mengabaikan semua protes tersebut. Padahal, jika sejak awal aspirasi masyarakat tersebut didengar  --  sebagai wujud dari makna kolaborasi  --  maka, proyek Pocong ini tidak menimbulkan masalah seperti sekarang ini. Dan dari kasus Lampu Pocong ini, kita pun bisa mengukur bagaimana Bobby Nasution sebagai Walikota Medan memaknai kata “kolaborasi” tersebut.

Kemudian, tentunya beragam pertanyaan : bagaimana dengan proyek lainnya yang sedang dikerjakan dan banyak mendapat protes dari masyarakat? Atau, bagaimana dengan janji-janji yang hingga kini belum dikerjakan?

Terakhir, kasus Lampu Pocong ini, tidak bisa tidak, adalah ongkos Bobby Nasution belajar menjadi Walikota Medan. Okelah, kita bisa memahami itu. Tapi, kita berharap, tidak ada lagi musibah-musibah lainnya yang akan menjadi ongkos Bobby Nasuiton belajar menjadi Walikota Medan. Bagaimanapun, kita mesti menghargai kesediaan Bobby Nasution mengorbankan masa mudanya untuk mengurus Kota Medan tercinta ini. Yak, hormat dan salutku kepada Bobby Nasution.

Mangkanya…

--------------------------------------

*Penulis adalah Jurnalis; warga Medan yang setia membayar pajak.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com