Choking Susilo Sakeh. |
Badko HMI (Badan Kordinasi Himpunan Mahasiswa Islam) Sumatera Utara minta penyelenggaraan PON XXI Sumut-Aceh 2024 ditunda, sampai semuanya benar-benar dinyatakan siap. Menurut Ketua Badko HMI Sumut, Yusril Mahendra Butarbutar, ada beberapa masalah yang bisa menjadi alasan penundaan. Salah satunya, adalah belum siapnya venue yang akan dipergunakan di Sumut. Dan kondisi ini, bisa membahayakan atlit maupun masyarakat. (RMOLSumut, 21 Agust.2024).
Dari Aceh, lebih setahun sebelumnya, Pemerintah Aceh melalui Kadispora, Dedy Yuswadi, minta penyelenggaraan PON-XXI ditunda setahun agar tuan rumah Aceh dan Sumut dapat lebih maksimal melakukan persiapan. (Detik Sumut, 02 Mei 2023).
Disusul kemudian oleh Anggota Komisi V DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), Tarmizi SP, di akhir tahun 2023 lalu. Tarmizi minta hal yang sama, agar penyelenggaraan PON-XXI ditunda, mengingat persiapan yang belum maksimal. Menurutnya, ada dua kendala prinsipil. Yakni masalah sharing anggaran dan masalah jadwal, dan kedua hal itu berkaitan dengan penyelenggaraan Pilkada serentak pada 27 November 2024 mendatang. (Serambinewas.com., 15 Des. 2023).
Faktanya, suara-suara daerah yang meminta penundaan jadwal pelaksanaan PON-XXI itu, tak dianggap sama sekali. PON-XXI tetap diselenggarakan sesuai jadwal, yakni pada 8-20 September 2024. Yang heboh kemudian di media sosial, adalah berbagai kekonyolan dan kelucuan seputar PON kali ini. Dan semua itu, dianggap sebagai bukti ketaksiapan Aceh dan Sumut sebagai tuan rumah.
Beberapa fihak, termasuk Menpora Dito Ariotejo, mencoba mengklarifikasi keriuhan yang ada. Namun tetap saja kalah viral, dibandingkan postingan masyarakat tentang banyak hal konyol di seputaran PON-XXI tersebut. Misalnya, tentang atap venue yang bocor atau ambruk, tentang jalan ke venue yang becek berlumpur, tentang konsumsi yang tak layak atlit, tentang truk material bangunan yang mengganggu para atlit dan penonton, tentang PON terburuk sepanjang sejarah, serta beragam hal-hal konyol dan lucu lainnya.
Adalah wajar jika masyarakat tak mau mencari tau, kenapa penyelenggaraan PON-XXI bisa terjadi seperti ini. Misalnya, kenapa pembangunan venue atau rehabilitasi venue terlambat dilaksanakan, kenapa fasilitas pendukung venue belum juga rampung, kenapa peralatan olahraga saat pertandingan tak mulus dan sebagainya.
Masyarakat memang tak mesti tau tentang bagaimana lambatnya pengucuran anggaran dari Pemerintah Pusat untuk pembangunan dan rehabilitasi venue yang akan dipergunakan, lambatnya pengucuran anggaran dari Pemerintah Pusat untuk pengadaan peralatan olahraga yang akan dipergunakan pada saat pertandingan. Termasuk tentang susah-payahnya Pemerintah Daerah dalam melakukan sharing angggaran untuk perhelatan ini, mengingat dua bulan kemudian Pemerintah Daerah membutuhkan anggaran yang tak kecil untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak pada 27 November 2024.
Rasa-rasanya, masyarakat memang tak usahlah tahu, kenapa kontrak Pembangunan Stadion Utama PON XXI di Desa Sena Deliserdang antara Kemen PUPR dan Kontraktor misalnya, baru ditandatangani pada Rabu, 29 Sept. 2023. (Detik Sumut, 20 Sept. 2023).
Dan, tentu saja, yang tetap babak belur menjadi bahan cemo’oh masyarakat di media sosial, adalah tuan rumah -- Aceh dan Sumut : dianggap tak siap menjadi tuan rumah!
Mangkanya…
Tuan Rumah Sebagai Korban
Apapun itu, PON-XXI telah berlangsung, dengan beragam ejekan yang hip-hip-hura. Namun, hal pasti yang kemudian bisa disimpulkan, PON-XXI semakin memberi pemahaman kepada kita tentang dua hal : Pertama, bahwa Politik dan Kepentingan Kekuasaan (baca : politik pencitraan) tetap menjadi panglima di dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara saat ini; dan Kedua, bahwa arogansi Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah masih terus saja terjadi.
Upaya menunda penyelenggaraan PON-XXI, itu bisa sama artinya untuk tidak memberi panggung pencitraan melalui even olahraga kepada Jokowi di akhir masa jabatannya. Dan bagi penggila pencitraaan dan para pendukungnya, maka menunda jadwal pelaksanaan PON-XXI pastilah sesuatu yang tabu. Maka, PON-XXI harus tetap dilaksanakan sesuai jadwal. Soal bagaimana kacakburak penyelenggaraannya, itu soal lain dan bukan urusan Pemerintah Pusat.
Artinya, target utama dari penyelenggaraan PON-XXI adalah citra politik dan kekuasaan. Apakah kemudian para atlit bisa berprestasi maksimal dengan kondisi ketaksiapan yang ada di lapangan, itu menjadi prioritas ke-sekian belas.
Kemudian, dengan tetap melaksanakan PON-XXI sesuai jadwal meski persiapan belum maksimal, itu juga berarti bahwa Pemerintah Pusat tak mau mendengarkan sama sekali permohonan daerah. Hal itu juga memberi pemahaman kepada kita tentang karakter Pemerintah Pusat yang masih tetap saja bersikap arogan terhadap Pemerintah Daerah. Arogansi itu juga terlihat dengan lambatnya pengucuran anggaran, baik untuk pembangunan venue baru maupun rehabilitasi venue yang akan dipergunakan. Termasuk lambatnya pengucuran anggaran untuk pembelian peralatan pertandingan yang akan dipergunakan, maupun bantuan lainnya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan perhelatan olahraga ini.
Tapi, sudahlah. Tokh, PON-XXI tetap saja dilaksanakan sesuai jadwal, dengan berbagai kekonyolan dan kelucuannya yang riuh. Untuk kita para warga Aceh dan Sumut, mari berlapang dada sembari bangga, bahwa segala kekonyolan dan kelucuan PON yang viral itu, sesungguhnya bukanlah karena kita tak mampu menjadi tuan rumah yang baik. Semua itu terjadi lebih dikarenakan prilaku Pemerintah Pusat yang masih saja arogan, serta lebih mementingkan politik pencitraan ketimbang substansi PON itu sendiri.
Karenanya, tak ada etika yang kita langgar, jika kita ikut-ikutan menertawai kekonyolan dan kelucuan yang terjadi di seputar perhelatan PON kali ini.
Mangkanya…
------------------------------------
*Penulis adalah Jurnalis Senior, warga Sumatera Utara.