Pemerintah Harus Tanggap Atasi Ketimpangan Hak Atas Tanah di Kawasan Danau Toba

Sebarkan:

TOBA (MM) - Lebih dari 70 perempuan adat dan perempuan petani dari Kabupaten Toba, Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan berkumpul serta satukan pemahaman mengenai akar pemiskinan struktural dan ketimpangan kepemilikan atas tanah, pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak perempuan petani di Kawasan Danau Toba, bertempat di Balige, Kabupaten Toba, Kamis sore (14/11/2024).

Di sana, para perempuan saling berbagi kisah melalui Dialog Multipihak : Ketimpangan Hak Atas Tanah dan Pentingnya Perlindungan dan Pemenuhan Hak Perempuan Petani di Kawasan Danau Toba.

Masyarakat adat dan petani di Kawasan Danau Toba memiliki sumber penghidupan melimpah yang telah diwariskan leluhurnya secara turun-temurun. Kekayaan sumber daya alam itu meliputi tanah, sungai, bukit, hutan dan segala isinya. 

Beberapa narasumber yang hadir menyampaikan aspirasi perempuan adat dan perempuan petani di Kawasan Danau Toba mendesak:

1. Pemerintah harus melibatkan perempuan adat dan perempuan petani dalam setiap proses pembangunan yang akan dilakukan di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten. 

2. Terbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Samosir dan Kabupaten Humbang Hasundutan.

3. Terbitkan Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani di Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Humbang Hasundutan.

4. Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat dan petani yang memperjuangkan hak-haknya. 

Sebagai narasumber Konferensi Pers: Risma Umar (Wakil Direktur Aksi! for gender and justice), Angela Manihuruk (Koordinator Divisi Pengorganisasian KSPPM), Eva Junita Lumban Gaol (Perempuan Adat Pargamanan-Bintang Maria, Parlilitan), Henrika Sitanggang (Ketua Serikat Tani Kabupaten Samosir), Serita Siregar (Perempuan Pejuang Tanah Adat Ria-Ria). Rumenti Pasaribu (Perempuan Adat Komunitas Ompu Raja Nasomalomarhohos Pasaribu, Natinggir

Dikatakan para narasumber, sehari-hari, masyarakat adat dan petani berinteraksi langsung dengan sumber daya warisan leluhurnya. Namun, sejak berkembangnya narasi bahwa Tapanuli adalah bagian dari ‘Daerah Termiskin’ di Indonesia pada awal 1980-an, pemerintah terusmenerus mengundang perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi di Tapanuli. 

Model Pembangunan yang bersifat top-down dan hadirnya industri-industri ekstraktif di Kawasan Danau Toba telah menggusur masyarakat adat dan petani dari tanah yang mereka anggap sebagai identitas itu. Tidak hanya tanah, hutan milik masyarakat adat dibongkar dan diganti dengan tanaman monokultur eucalyptus milik PT Toba Pulp Lestari. Sungai-sungai mengering dan tercemar akibat penggunaan pestisida skala masif. Bukit-bukit runtuh dan mengubur masyarakat adat dan petani hidup-hidup. 

Kondisi lingkungan yang kini mengenaskan dan tidak adanya akses memulihkan tanah yang kini kering, tandus dan gersang memaksa perempuan untuk maju di garda terdepan untuk memperjuangkan hak atas tanah dan hak-hak untuk hidup yang aman dan nyaman. Perempuan berada di baris paling depan memperjuangkan tanahnya bukan hanya sebagai strategi perjuangan melainkan lebih dari itu bahwa perempuan dan lingkungannya memiliki hubungan akrab dan naluriah. Serta, para perempuan memikirkan masa depan generasinya yang akan datang. 

Sejak dulu, perempuan telah berkontribusi menjaga dan merawat lingkungannya melalui pengetahuan lokal yang mereka miliki. Namun, budaya patriarki yang kerap meminggirkan perempuan telah membuat pengetahuan yang mereka miliki tidak dianggap penting. Suara perempuan tidak dihitung dalam pengambilan keputusan-keputusan penting untuk kepentingan publik. Mereka kerap dianggap kelas nomor dua dan hanya sebagai opsi belaka. Hal ini menyebabkan perempuan menjadi korban dan menjadi pihak yang paling dirugikan dari program pembangunan negara.

Perempuan adat dan perempuan petani di Kawasan Danau Toba menghadapi kondisi pelik dan pemiskinan struktural secara konsisten. Perempuan dikepung oleh budaya patriarki, kebijakan yang maskulin dan merugikan perempuan, berbagai praktik pemiskinan struktural melalui proyek strategis negara; hutan tanaman industri dan politik kehutanan komersil, food estate, geothermal, pariwisata yang tidak berbasis masyarakat, sempadan danau dan sungai, dan sebagainya. 

Perjuangan masyarakat adat khususnya perempuan adat dalam proses pelepasan tanah adat dari kawasan hutan negara, konsesi PT TPL, dan Proyek Strategis Nasional (PSN) kerap terhambat di tingkat kabupaten. 

Pemerintah kabupaten menjadi penghambat utama dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Masyarakat adat dipaksa mengikuti regulasi yang tersedia, namun pemerintah kabupaten sendiri tidak memahami substansi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Padahal, keberadaan dan hak masyarakat adat sudah dijamin dalam berbagai regulasi seperti UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, Putusan MK No. 35/PUUX/2012, UUD 1945 Pasal 18B, Pasal 28I ayat (3), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), dll. 

Di sisi yang lain, perempuan petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil-hasil pertanian semakin hari semakin terkomersialisasi. Komodifikasi subsisten telah mengubah corak produksi petani. Kini, petani tidak hanya bertani untuk pangannya, namun untuk memenuhi permintaan pasar. Perempuan petani harus terlibat dalam sistem pasar, memproduksi komoditas yang sesuai kebutuhan pasar dan menerima harga jual yang relatif rendah sesuai harga pasar. 

Padahal, untuk proses produksi pertaniannya, petani harus membeli input pertanian dengan harga yang mahal seperti bibit, pupuk dan pestisida. Perempuan petani semakin mengalami tantangan berat untuk melanjutkan usaha pertaniannya. Padahal sektor pertanian bisa menjadikan Indonesia sejahtera dan berdaulat jika UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani diwujudkan dalam Peraturan Daerah. Dalam kebijakan tersebut dijelaskan bahwa petani sebagai subjek yang harus dilindungi dan diberdayakan.

Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan dan Pemberdayaan Petani akan memberikan rasa aman bagi petani untuk mengembangkan produksi pangan, memiliki jaminan akan kerusakan lahan akibat bencana ekologi, ada kepastian harga dan pasar serta pemberdayaan bagi petani. Tentu itu menjadi harapan petani yang sampai saat ini masih disuarakan. 

Perempuan berjuang dalam segala aspek kehidupannya. Namun, dalam proses merebut kembali hak-haknya, mereka sering menerima upaya-upaya pembungkaman suara perempuan yang dilakukan dengan berbagai cara seperti perilaku seksis, pelecehan dan kekerasan seksual, serta dianggap anti pembangunan. Tantangan yang dihadapi perempuan kian bertambah ketika mereka memberanikan diri untuk mengepalkan tangan dan melawan segala bentuk penindasan.

Hal ini mengharuskan seluruh perempuan adat dan petani bersolidaritas dalam arak-arakan perjuangan mereka untuk melawan ketimpangan gender dan pemiskinan struktural terhadap perempuan adat dan perempuan tani di Kawasan Danau Toba. (ac)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com