![]() |
Kaldera Toba, yang terletak di kawasan Danau Toba, Sumatera Utara. (foto/ist) |
Kombinasi antara keindahan lanskap alam yang menakjubkan dan kekayaan budaya masyarakat Batak di sekitarnya menjadikan kawasan ini memiliki nilai strategis dalam aspek geologi, ekologi, dan budaya.
Atas dasar pentingnya nilai-nilai tersebut, pada 7 Juli 2020, Kaldera Toba resmi diakui sebagai bagian dari jaringan UNESCO Global Geopark dalam Sidang Dewan Eksekutif UNESCO di Paris, Prancis.
Namun, status prestisius ini kini tengah menghadapi ancaman pencabutan. Berdasarkan hasil kunjungan tim evaluasi UNESCO yang terdiri dari dua orang pada 31 Agustus hingga 4 September 2023, ditemukan bahwa pemerintah Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah—dinilai belum menunjukkan kesungguhan dalam melaksanakan prinsip-prinsip pengelolaan berkelanjutan yang menjadi syarat utama dalam mempertahankan status geopark dunia.
Sebagai bentuk peringatan, UNESCO menjatuhkan sanksi berupa “kartu kuning” yang membatasi proses pembaruan status Geopark setiap empat tahun. Jika tidak dilakukan pembenahan signifikan dalam waktu dekat, status Kaldera Toba sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark dapat dicabut setelah masa berlaku saat ini berakhir pada Juli 2024.
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara (PB IMSU) menyampaikan keprihatinan mendalam sekaligus desakan kepada pemerintah untuk segera merespons kondisi ini dengan langkah konkret.
Ketua Umum PB IMSU, Lingga Pangayumi Nasution, menegaskan pentingnya keseriusan pemerintah, khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, dalam mengimplementasikan seluruh arahan kebijakan UNESCO secara konsisten dan terukur.
“Status ini bukan sekadar pengakuan simbolik, melainkan representasi dari tanggung jawab kita sebagai bangsa dalam menjaga warisan geologi dan budaya yang diakui dunia. Pemerintah harus segera memperkuat komitmen pengelolaan kawasan secara kolaboratif dan berkelanjutan,” ujar Lingga.
Lebih lanjut, PB IMSU menekankan bahwa pelestarian status Geopark Kaldera Toba membutuhkan sinergi multipihak, termasuk akademisi, masyarakat adat, pelaku industri pariwisata, serta sektor swasta. Lingga menyebutkan bahwa lemahnya upaya promosi, minimnya edukasi publik, dan kurang optimalnya tata kelola kawasan selama ini menjadi faktor yang memperburuk posisi Kaldera Toba di mata UNESCO.
“Kami mendorong adanya koordinasi lintas sektor dan pelibatan aktif komunitas lokal dalam seluruh program pengelolaan. Geopark ini memiliki potensi besar dalam mendukung ekonomi masyarakat melalui pengembangan pariwisata yang berbasis budaya dan kelestarian lingkungan,” tambahnya.
Sebagai bentuk komitmen, PB IMSU mendesak pemerintah untuk segera menyusun rencana aksi pemulihan yang komprehensif, dengan indikator capaian yang terukur dan tenggat waktu yang jelas, guna menyambut evaluasi akhir dari UNESCO pada pertengahan 202
Selain itu, PB IMSU juga menyerukan adanya evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas pemanfaatan anggaran yang selama ini dikucurkan untuk pengembangan Geopark Kaldera Toba.
Jika status Kaldera Toba dicabut, hal tersebut akan menjadi preseden buruk bagi komitmen Indonesia dalam pelestarian lingkungan dan pengembangan pariwisata berkelanjutan.
“Ini bukan hanya tentang Sumatera Utara, tapi tentang reputasi Indonesia di mata dunia. Kita tidak boleh gagal mempertahankan warisan global ini. Jangan sampai generasi mendatang hanya mendengar kisah bahwa kita pernah memiliki Geopark kelas dunia yang gagal kita jaga,” tutup Lingga.(mm/rel)