![]() |
Pemerhati agraria, Zamal Setiawan SH. (foto/ist) |
Hingga kini, langkah nyata untuk menata ulang struktur penguasaan tanah di Batu Bara belum terlihat. Padahal, Reforma Agraria merupakan agenda strategis nasional yang telah lama menjadi cita-cita bangsa: mewujudkan pemerataan akses tanah, mengurangi ketimpangan agraria, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan masyarakat adat yang selama ini rentan tersisih dari akses sumber daya alam.
Sejumlah pemerhati agraria menyebutkan, banyak lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Guna Bangunan (HGB) di Batubara yang terindikasi terlantar. Namun, kondisi itu seolah dibiarkan tanpa ada upaya inventarisasi maupun redistribusi.
“Banyak tanah HGU dan HGB yang terbengkalai. Sayangnya, Pemkab seakan menutup mata. Padahal jika ditertibkan, lahan itu bisa dimanfaatkan untuk masyarakat, mendukung pembangunan desa, dan memperkuat ketahanan pangan,” ujar Zamal Setiawan SH, selaku pemerhati agraria saat ditemui di Indrapura, Minggu (7/9/2025).
Masalah semakin pelik karena Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Batubara yang seharusnya dibentuk sesuai amanat Perpres 62/2023, hingga kini tak kunjung ada. Gugus tugas ini seharusnya menjadi motor penggerak percepatan pelaksanaan reforma agraria di tingkat daerah, melibatkan pemerintah daerah, ATR/BPN, serta elemen masyarakat sipil. Ketidakjelasan ini memperkuat dugaan publik bahwa Pemkab kurang memiliki komitmen politik dalam isu pertanahan.
Zamal Setiwan menyebutkan alasan ketidaktahuan Pemkab terhadap aturan hukum tidak masuk akal. “Negara ini adalah negara hukum. Tidak logis jika Pemkab Batu Bara dengan perangkat kelembagaannya mengaku tidak tahu adanya Perpres itu. Reforma Agraria bukan sekadar program teknis, melainkan janji konstitusi. Jika Pemkab abai, berarti tidak ada komitmen terhadap janji itu,” tegasnya.
Kekecewaan juga datang dari akar rumput. Warga Desa Lubuk Cuik, misalnya, secara terbuka mendesak Pemkab Batu Bara bersama ATR/BPN segera mengambil langkah konkret.
Desakan itu tertuang dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Bupati Batubara dan diterima staf sekretariat pada 27 Mei 2025. Dalam surat tersebut, warga menegaskan agar tanah-tanah yang terindikasi terlantar segera diinventarisasi, ditertibkan, dan dialokasikan untuk kepentingan masyarakat desa.
Seorang pengamat hukum agraria turut menegaskan bahwa prinsip asas fiksi hukum dalam sistem perundang-undangan menganggap setiap produk hukum yang telah sah berlaku diketahui oleh seluruh masyarakat, termasuk pemerintah daerah. Dengan demikian, dalih ketidaktahuan atau keterlambatan dalam merespons aturan hukum tidak bisa dijadikan alasan pembenar.
Kritik dan desakan ini mencerminkan kegelisahan masyarakat Batu Bara atas lambannya langkah pemerintah daerah. Di satu sisi, mereka membutuhkan kepastian akses lahan untuk bertani dan menopang kehidupan ekonomi. Di sisi lain, ketidakjelasan kebijakan reforma agraria justru memperbesar potensi konflik agraria, kesenjangan sosial, serta terhambatnya pembangunan desa.
Meski tekanan publik terus menguat, hingga berita ini diterbitkan, pihak Pemkab Batu Bara belum memberikan tanggapan resmi terkait berbagai kritik tersebut.
Kondisi ini membuat publik semakin ragu terhadap keseriusan Pemkab Batu Bara dalam menjalankan mandat konstitusi yang telah berulang kali digaungkan sejak lama: tanah untuk rakyat, bukan untuk dikuasai segelintir pihak seperti yang terjadi di lapangan selama ini. (zein)