Politik Identitas, Wani Piro & JMSI

Sebarkan:

 
Choking Susilo Sakeh. (foto:mm/ch)
DARI beberapa diskusi tentang pemilu yang kuhadiri di kotaku, sepertinya poltik identitas menjadi sesuatu yang mencemaskan beberapa kalangan. Sekelompok instansi, ormas dan akademisi, prihatin bahwa politik identitas pada setiap pilpres dan pilkada bisa mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Beberapa contoh disebut, diantaranya Pilkada Jakarta 2017, juga Pilpres 2014 dan 2019. Politik identitas yang dimainkan pada Pilkada Jakarta dan Pilpres tersebut, telah membelah masyarakat Indonesia di dalam barisan kadrun dan kampret, hingga saat ini. Keterbelahan tersebut, dianggap telah mengganggu upaya ideal yang akan dicapai pemerintah.

Begitu pula halnya dengan perilaku wani piro (pragmatis-transaksional) para pemilih pada setiap pemilu. Prilaku ini masih tetap menjadi sesuatu yang mencemaskan di dalam menghasilkan pemilu yang berkualitas. Apalagi kini, prilaku wani piro seakan tidak lagi menjadi sesuatu yang salah, karena terus menerus terjadi bahkan secara terbuka di dalam setiap even pemilu.

Uniknya, aku tak melihat adanya upaya serius secara sistemik dan masif untuk mencegah politik identitas maupun prilaku wani piro tersebut. Yang paling banyak terlihat, adalah sekedar pernyataan bahwa politik identitas dan prilaku wani piro harus dihindari, karena banyak merugikan di dalam berbagai aspek pembangunan bangsa.

Pemilih Cerdas

Sungguh, aku adalah orang yang tidak mencemaskan politik identitas maupun perilaku wani piro ini. Karenanya, aku tak pernah mendukung pernyataan bahwa kedua hal tersebut harus dicegah pada setiap pemilu. 

Di negara yang demokrasinya sudah maju sekalipun, politik identitas dan prilaku wani piro tetap juga dipergunakan sebagai bagian dari upaya meraih kemenangan di dalam pemilu. Bedanya, politik identitas dan prilaku wani piro di negara maju tersebut, dipraktekkan secara cerdas dan terhormat. Akan halnya di negara kita, kedua hal tersebut dilakukan secara brutal dan terbuka.

Perbedaan lainnya, politik identitas akan usai dan berdampak minimal seiring berakhirnya penyelenggaraan pemilu. Pun prilaku wani piro, tidak akan mempengaruhi pemilih di dalam memilih calon yang berkualitas. Sedangkan di negeri kita, politik identitas berdampak besar di dalam membelah bangsa hingga sampai ke pemilu berikutnya. Akan halnya prilaku wani piro, cukup besar mempengaruhi pemilih untuk cenderung memilih calon yang berduit daripada calon yang berkualitas.

Politik identitas dan perilaku wani piro, menurutku, tidak akan berdampak signifikan jika para pemilih memiliki kecerdasan. Semakin cerdas para pemilih, maka akan semakin minimal dampak buruk dari politik identitas maupun perilaku wani piro tersebut. Para pemilih cerdas akan teramat sadar, bahwa pemilu adalah sekedar konstetasi rutin lima tahunan. Karenanya, seganas apapun politik identitas yang dimainkan pada setiap pemilu, itu semata-mata hanya untuk kepentingan sesaat di dalam meraih kemenangan. Seusai pemilu, maka kepentingan bangsa menjadi lebih penting dan di atas segalanya.

Begitu pula halnya dengan prilaku wani piro. Para pemilih cerdas akan teramat sadar, bahwa prilaku wani piro adalah cara busuk untuk kepentingan meraih kemenangan pada pemilu semata. Tetapi bukan untuk menghasilkan calon yang berkualitas. Karenanya, para pemilih cerdas akan bersikap tegas : “Ambil uangnya, jangan pilih orangnya!”.

Yang menjadi masalah kemudian, adalah siapa yang bertanggungjawab untuk mencerdaskan para pemilih di negeri ini?

KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu, terlihat lebih disibukkan dengan hal-hal teknis penyelenggaraan pemilu ketimbang melakukan upaya membangun pemilih yang cerdas. Selain itu, kedua badan penyelenggara itu sepertinya kekurangan tenaga untuk mendidik pemilih menjadi cerdas secara masif dan sistemik.

Dan partai politik, semestinya adalah salah satu fihak yang mau ikut bertanggungjawab mendidik pemilih untuk menjadi cerdas. Namun, aku belum pernah melihat ada parpol yang serius melakukan upaya mencerdaskan pemilih, entah apapun alasannya.

MoU KPU dan JMSI

Senin 1 Agustus 2022, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat menandatangani Memory of Understanding (MoU) dengan Pengurus Pusat Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), dalam suatu rangkaian acara Rapimnas JMSI di Jakarta. MoU yang ditandatangani oleh Ketua KPU Pusat Hasyim Asy’ari dan Ketua Umum PP JMSI Teguh Santosa ini, kelak akan ditindaklanjuti oleh jajaran KPU dan JMSI di daerah seluruh Indonesia.

MoU ini tentulah langkah bijak dari KPU dan JMSI. KPU bisa memanfaatkan JMSI dan ratusan perusahaan media siber anggota JMSI yang tersebar di seluruh Indonesia, untuk menjadi sarana tidak saja di dalam mensosialisasikan segala tetek bengek penyelenggaraan pemilu. Lebih dari itu, KPU bisa memanfaatkan seluruh jaringan JMSI untuk membangun upaya dan sistim di dalam mencerdaskan para pemilih.

Bagi JMSI, organisasi perusahaan media siber yang baru berusia dua tahun dan baru setahun menjadi konstituen Dewan Pers, tentunya akan bisa lebih memaksimalkan memainkan peranannya untuk ikut membangun bangsa menjadi lebih baik. Khususnya, adalah dengan memainkan peran di dalam mencerdaskan para pemilih.

Mengingat peran, fungsi dan potensi yang dimiliki KPU maupun JMSI, maka sudah sepatutnyalah kerjasama ini wajib diberi bobot lebih, terkhusus di dalam mencerdaskan para pemilih pada Pemilu 2024 mendatang. Jika upaya ini bisa dilaksanakan dengan hasil maksimal, maka dampak negatif dari politik identitas bisa diminimalisir sedemikian rupa. Pun prilaku wani piro, tidak akan berpengaruh besar di dalam menentukan calon-calon yang memang berkualitas.

Dengan demikian, mimpi Pemilu Indonesia mampu menghantarkan bangsa ini menjadi lebih baik, tidak lagi sekedar menjadi mimpi di siang bolong.

Mangkanya...

---------------------------

• Choking Susilo Sakeh, Ketua Panwas Pemilu 2004 Prov. Sumatera Utara; Pemred medanmerdeka.com; anggota Dewan Pakar PP JMSI.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini

 
Desain: indotema.com